JAKARTA, KOMPAS.com - Gempa bumi kerap mengguncang wilayah di Indonesia.
Pada Jumat (2/8/2019), terjadi gempa Banten yang terasa di beberapa daerah lain di Pulau Jawa dan Sumatera.
Gempa Banten juga diikuti peringatan dini tsunami yang kemudian dicabut oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Biasanya, terjadi kepanikan jika terjadi gempa.
Ada upaya mitigasi yang dilakukan karena Indonesia termasuk wilayah yang rawan gempa.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono menjelaskan, meminimalisasi risiko gempa bumi dapat dilakukan dengan pendekatan mitigasi struktural.
"Kalau gempa itu enggak usah banyak rencana, pokoknya wujudkan bangunan rumah tahan gempa sesuai aturan yang ada (mitigasi struktural)," kata Daryono saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (3/8/2019).
Daryono mengatakan, jatuhnya korban saat gempa biasanya karena bangunan yang rubuh.
Baca juga: Data Lengkap Kerusakan Dampak Gempa Banten
"Gempa itu menjadi human interest kalau ada (bangunan) yang roboh, korban luka, korban meninggal. Dalam konteks ini, gempa tak pernah membunuh orang, yang membunuh adalah bangunan rumahnya," ujar dia.
Contohnya, lanjut Daryono, peristiwa dua gempa dengan perilaku dan kondisi geologi serupa, yaitu gempa di Yogyakarta pada 2006 dan gempa di Suruga, Jepang pada 2010.
"Pembangkitnya (dua gempa itu) sama-sama sesar aktif. Yang beda bangunan rumahnya. Rumah di Jepang sudah mengadopsi bangunan tahan gempa, di Indonesia belum," papar dia.
Gempa di Yogyakarta dan di Jepang sama-sama mempunyai kekuatan 6,4 magnitudo dan berada pada kedalaman 10 meter.
Gempa di Yogyakarta menyebabkan ribuan orang meninggal, sementara di Jepang hanya satu orang.
"Ini sebagai contoh nyata. Niat untuk menyelematkan masyarakat kita dari daerah gempa (yaitu) mendirikan bangunan tahan gempa, tidak ada lainnya lagi," ucap Daryono.
Daryono mengungkapkan, selain mitigasi struktural, masyarakat juga harus paham mitigasi ketika gempa bumi terjadi.
Saat guncangan besar terjadi, mengelola rasa panik menjadi satu hal penting.
"Masyarakat kalau di dalam rumah, goncangannya besar jangan paksa lari keluar. Tunggu guncangannya selesai. (Berlindung dengan cara) cari barang apa saja yang bisa melindungi badan kita," papar Daryono.
Hal ini dilakukan karena saat gempa, tubuh akan mengikuti gerak tanah.
"Kalau gempa besar, enggak bisa kita jalan atau merangkak. Lempar sana lempar sini (terombang-ambing). Belum lagi rak buku ambruk, telivisi jatuh, semua mencelat semua. Bisa saja pintu enggak bisa dibuka karena terkunci," lanjut dia.
Baca juga: Waspada Gempa Bumi, Pahami Langkah Mitigasi Ini!
Gempa bumi yang berpusat di laut juga dapat memicu potensi gelombang tsunami.
Mengenai hal ini, Daryono mengatakan, evakuasi mandiri menjadi hal penting yang harus segera dilakukan.
Jika gempa terasa di daerah dekat pantai terutama pantai rawan tsunami, maka masyarakat tak perlu menunggu peringatan yang dikeluarkan oleh BMKG atau instansi resmi lainnya untuk menyelamatkan diri.
"Kalau ada gempa di pantai, ya sudah pergi tinggalkan pantai. Menghindari daerah pantai," kata Daryono.
Jalur-jalur evakuasi juga harus disiapkan.
"Harus diperkuuat evakuasi mandiri di pantai-pantai yang rawan tsunami. Harus ada sosialisasi yang menyeluruh dan berkelanjutan. Kemudian diadakan jalur-jalur evakuasi mandiri di berbagai pantai yang rawan tsunami," ujar Daryono.
Penataan ruang di sekitar pantai rawan tsunami juga harus diperhatikan.
Selain itu, tidak disarankan mendirikan bangunan di dekat bibir pantai rawan tsunami. Jika memang akan membuat bangunan, usahakan setidaknya berjarak 400 meter dari pantai.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.