Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hanya dari Suara, AI Huawei dan RFCx Bisa Deteksi Satwa Langka

Kompas.com - 02/08/2019, 18:06 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

SOLOK SELATAN, KOMPAS.com – Sejauh ini, startup yang mendaur ulang ponsel-ponsel lama menjadi perangkat pelindung hutan, Rainforest Connection (RFCx), telah mengumpulkan hampir 100 tahun data bioakustik (suara alam) dari hutan-hutan di 10 negara dunia, termasuk Indonesia.

Data berharga ini merupakan tambang pengetahuan yang tersembunyi mengenai alam kita, sehingga RFCx pun merasa sayang bila mereka hanya berhenti pada upaya mendeteksi dan mencegah penebangan liar.

Disampaikan oleh Topher White, CEO dan pendiri RFCx, mereka kini sedang berupaya untuk menggunakan data-data tersebut untuk tujuan ilmiah, seperti penelitian ekologi, biologi dan konservasi.

Mereka pun berkolaborasi dengan Huawei untuk membangun sistem pintar yang mampu mendeteksi dan menganalisis suara hewan-hewan yang terancam punah, seperti orangutan, dengan bantuan kecerdasan buatan. Sistem ini tidak hanya akan mengungkap keberadaan hewan-hewan ini, tetapi juga informasi mengenai habitat dan perilaku mereka di hutan.

Baca juga: Tahun 2019, Populasi Orangutan Kalimantan Semakin Kritis

Topher menjelaskan bahwa sistem yang mereka bangun akan dapat menyederhanakan proses penelitian bioakustik.

Pasalnya dalam penelitian bioakustik tradisional, para peneliti tidak hanya kesulitan untuk mengumpulkan data-data suara alam yang begitu besar, proses analisisnya pun memakan waktu yang sangat-sangat lama karena harus secara manual diidentifikasi dan ditandai.

Nah, dalam sistem yang sedang dibangun, RFCx mengajak para pakar untuk bersama-sama menandai suara ribuan spesies yang terdengar pada spectogram, bentuk visual dari data suara yang mereka kumpulkan.

Huawei x RFCx/Huawei Device Indonesia Contoh spectogram dari Rainforest Connection

Spectogram yang sudah ditandai kemudian digunakan oleh para peneliti data Huawei sebagai data latihan untuk membangun permodelan.

Topher meyakini bahwa bila sistem ini telah berjalan, proses penelitian bioakustik bisa disingkat menjadi beberapa minggu atau bahkan beberapa hari saja.

“Ada beberapa peneliti yang bekerja sama dengan kita, bilang bahwa kombinasi AI dengan bioakustik sama pentingnya bagi dunia biologi seperti penemuan mikroskop,” jelas Topher.

“Kalau Anda pikir, mikroskop membuka dunia yang tidak kasat mata bagi kita. Nah, suara-suara alam ini juga menyimpan pengetahuan yang luar baisa, pengetahuan yang sulit kita pilah dan cerna,” imbuhnya lagi.

Baca juga: Menelusuri Hutan Batang Toru, Mencari Sosok Orangutan Tapanuli

Terkait keamanan data, Topher berkata bahwa pada saat ini, mereka baru membagikan secuplik saja kepada para peneliti data Huawei untuk melatih sistem. Mengenai ke depannya, dia mengaku masih perlu berdiskusi dengan Huawei.

“Tapi ya, data ini bukan milik Amerika (negara asal Topher) atau milik kita (RFCx), ini milik orang-orang yang bekerjasama dengan kita. Jadi, kalau kita merekam ini di Sumatra, ini menjadi properti intelektual Indonesia,” ujarnya.

Untuk diketahui, Rainforest Connection menciptakan sistem bernama Guardian yang bisa mendengarkan suara hutan selama 24 jam. Sistem ini memanfaatkan ponsel Huawei lama untuk mendengarkan dan menghubungkan suara hutan ke server penyimpanan data Rainforest Connection Cloud API untuk dianalisis oleh kecerdasan buatan (AI).

Bila AI mendeteksi suara ilegal, seperti bunyi gergaji atau truk, sistem akan secara otomatis mengirimkan peringatan kepada penjaga hutan beserta titik koordinat lokasinya. Dengan demikian, intervensi bisa secepatnya dilakukan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com