Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eksotika Bromo, Menguak Asal Usul Orang Tengger di Kaki Bromo

Kompas.com - 18/07/2019, 19:04 WIB
Lusiana Indriasari, Kontributor Sains,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Lautan pasir Kasiah di kaki gunung Bromo menjadi panggung drama kehidupan Joko Seger dan Roro Anteng yang merupakan legenda asal muasal suku Tengger.

Kisah leluhur orang Tengger yang diangkat dalam bentuk sendratari kolosal berudul Kidung Tengger ini bukan sekadar perayaan kebangkitan seni tradisi. Karya itu sekaligus menjadi simbol harmonisasi manusia dengan alam semesta yang harus terus dijaga.

Lebih dari 200 penari profesional, penyanyi, musisi serta sastrawan terlibat dalam karya yang digelar pada tanggal 13-14 Juli 2019 di lautan pasir desa Ngadisari, Kabupaten Probolinggo, salah satu pintu masuk ke kawah Bromo. Acara ini menjadi semacam pembuka bagi ritual besar suku Tengger Yadnya Kasada yang jatuh pada Kamis (18/07/2019) ini.

Yadnya Kasada adalah ritual kurban ke kawah Gunung Bromo. Aneka persembahan atau sesaji, mulai dari makanan, hasil pertanian hingga ternak seperti ayam dan kambing, dilemparkan ke dalam kawah sebagai persembahan kepada dewa Brahma.

Baca juga: Alasan Kisah Cinta Sedarah “I La Galigo” adalah Kisah Klasik GSA

Puncak Yadnya Kasada berlangsung pada Kamis dini hari, tepat pada saat bulan purnama menerangi kawah Bromo. Masyarakat suku Tengger menggelar doa-doa di pura luhur Poten yang berada di kaki Bromo lalu membuang sesaji ke kawah.

Sebenarnya, sejak seminggu sebelum puncak ritual, masyarakat Tengger secara bertahap sudah mulai berdatangan ke kawah Bromo untuk membuang sesaji. Ada yang membawa ayam hidup, aneka makanan bahkan uang untuk dibuang ke kawah Bromo.

Pasalnya, suku Tengger tersebar tidak hanya di wilayah Probolinggo, tetapi juga di Kabupaten Malang dan Pasuruan.

Art Director Eksotika Bromo, Heri Prasetyo atau akrab disapa Heri Lentho, sudah tiga kali menggelar pentas di lautan pasir. Para penari dan seniman harus berjuang mempersembahkan karya terbaik mereka di antara kepulan debu pasir musim kemarau dan suhu dingin kaki gunung Bromo yang bisa mencapai 5 derajat Celcius menjelang senja.

Baca juga: Perjalanan Kadek Arimbawa Mengobati Kecemasan Diri lewat Seni

Joko Seger dan Roro Anteng dipercaya masyarakat sebagai leluhur yang melahirkan anak-anak Tengger.Lusiana Indriasari/Kompas.com Joko Seger dan Roro Anteng dipercaya masyarakat sebagai leluhur yang melahirkan anak-anak Tengger.

Joko Seger dan Roro Anteng dipercaya masyarakat sebagai leluhur yang melahirkan anak-anak Tengger. Nama Tengger sendiri mereka percayai berasal dari penggalan nama Roro Anteng (Teng) dan Joko Seger (Ger).

Menurut legenda, pasangan ini setelah menikah berharap bisa segera memiliki keturunan. Namun karena tidak juga mendapatkan anak, Joko Seger pun mengumbar sumpah: Jika dia diberi 25 anak oleh dewa, maka dia akan mengorbankan salah satu anaknya ke kawah gunung Bromo sebagai persembahan.

Sumpah Joko Seger didengar langit. Tidak lama kemudian, Roro Anteng pun dikaruniai 25 anak.

Terlena hidup bahagia bersama anak-anak dan istrinya, Joko Seger lupa akan sumpahnya. Alam pun marah. Desa tempat mereka tinggal di kaki kawah Bromo dilanda banyak bencana.

Pada akhirnya, anak bungsu Joko Tengger merelakan diri untuk dikorbankan ke kawah Bromo. Akan tetapi sebelum masuk ke kawah Bromo, dia berpesan agar saudara-saudaranya dan segenap warga desa rutin mengadakan ritual sedekah bumi ke dalam kawah tempat ia dikorbankan.

Baca juga: Khasiat Melukis bagi Anak Autis, Ruang Ekspresi Hingga Kurangi Tantrum

Heri mengemas sendratari berdurasi dua jam itu penuh warna. Dia menggabungkan beragam bentuk tarian, termasuk tari topeng, dengan nyanyian dan puisi Kidung Tengger yang dibacakan sastrawan Sosiawan Leak.

Ada juga penyanyi Pritta Kartika jebolan The Voice Indonesia yang ikut membawa syahdu suasana lautan pasir Bromo dengan lagu Indonesia Pusaka dan Lestari Alamku milik penyanyi legendaris Gombloh. Sendratari kemudian ditutup dengan lagu Earth Song milik Michael Jakcson.

“Tantangan nyanyi di alam terbuka sini sangat berat. Saya harus pandai-pandai atur napas di antara kepulan debu dan suhu super dingin,” ungkap Pritta.

Eksotika Bromo menjadi ajang bagi para praktisi kesenian tradisional untuk saling bertemu. Selain drama tari kolosol, selama dua hari, kaki Bromo diramaikan oleh kelompok seni Singo Ulung Bondowoso, Reog Sardulo Joyo Sukun Malang, Reog Kendang, dan lain-lain. (Lusiana Indriasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com