Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rius Vernandes, Menu Tulis Tangan Garuda, dan Sisi Gelap Dunia Digital

Kompas.com - 17/07/2019, 20:52 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Digital membawa pencerahan, begitu selalu dikatakan. Betul di satu sisi. Tapi tidak di sisi lain. Masalah menu tulis tangan Garuda Indonesia yang membawa Rius Vernandes ke polisi membuktikannya.

Berkat digital, kita punya Gojek, bisa bantu orang lewat Kitabisa.com, dan bisa bikin petisi lewat Change.org. Namun di sisi lain, berkat digital, masalah juga jadi bertambah.

Kasus menu tulis tangan Garuda Indonesia dan Rius Vernandes cuma salah satu dari tiga kasus viral yang terjadi belakangan yang menguak sisi gelap digital. Kok bisa dikatakan sisi gelap? Berikut penjelasannya.

Menu Tulis Tangan Garuda dan Rius Vernandes

Di negara demokrasi, kita berhak bicara, berhak mengkritik. Ini berlaku di media apapun. Mau demonstrasi di jalanan (asal tka bikin ricuh) sampai protes di Facebook, Twitter, atau Instagram.

Namun kebebasan untuk bicara di media digital terancam karena kita punya pasal karet di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Baca juga: Dari Menu Tulis Tangan Garuda dan Rius Vernandes, Mengenal Hak Digital Kita

Tahun 2009, Prita Mulyasari mengeluh atas pelayanannya di RS Omni Alam Sutera. Dia pun akhirnya dipenjara karena dituduh mencemarkan nama baik.

Selama berbulan-bulan, kita siduguhi berita tentang Baiq Nuril yang dituntut penjara sebab merekam omongan yang melecehkannya untuk bukti.

Kini Rius yang sekadar mengunggah menu tulis tangan di kelas bisnis Garuda Indonesia dituduh mencemarkan nama baik.

Tiga kasus itu menunjukkan bahwa digital belum sepenuhnya menjadi ruang bebas berekspresi secara bertanggung jawab. SAFENet meminta agar UU ITE dikaji ulang dan beberapa pasalnya dihapuskan.

Video Ikan Asin Galih Gnanjar

Video ikan asin yang melibatkan Galih Ginanjar, Rey Utami, dan Pablo Benua juga menjadi bukti kegelapan dunia digital. Kenapa?

Salah satu cita-cita digital adalah kemanusiaan. Contohnya, memberi akses bagi warga pelosok untuk mendapatkan informasi dan edukasi.

Tapi lihat konten video ikan asin. Youtube yang bisa dipakai sebagai media edukasi justru digunakan untuk menyebarkan konten yang, menurut pengamat gender Sri Habsari dari UNS, melecehkan wanita.

Baca juga: Menu Tulis Tangan Garuda dan Rius Vernandes, Kapan Kita Dibilang Cemarkan Nama Baik?

"“Video tersebut justru tidak lagi mencerminkan nilai budaya Indonesia. Video tersebut malah mengingatkan saya sitkom Family Guy (asal Amerika Serikat) yang kental dengan unsur misogini,” kata Habsari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com