Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/07/2019, 18:06 WIB
Retia Kartika Dewi,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Dalam sebuah kesempavan wawancara, penyanyi Raisa Andriana mengaku mengalami baby blues selama beberapa minggu. Penyanyi berparas ayu itu mengaku bisa menangis secara tiba-tiba, tanpa alasan jelas.

Hal seperti ini memang bukan dialami Raisa seorang diri. Ada banyak ibu yang mungkin juga pernah merasakan hal serupa.

Ini karena pasca-melahirkan hormon dalam tubuh ibu mengalami perubahan yang bisa menimbulkan efek kurang nyaman dan memicu perasaan-perasaan negatif, misalnya muncul sindrom baby blues.

Baby blues adalah kondisi psikologi ibu baru, dengan timbulnya rasa kecewa, rasa bersalah atas proses persalinan yang baru saja dilewati.

Baca juga: Seri Baru Jadi Ortu: Apa Ayah Bisa Mengalami Baby Blues?

Berikut 4 fakta terkait sindrom baby blues:

1. Ciri khas ibu yang alami baby blues

Usai melahirkan, seorang ibu merasa bosan karena dalam keseharian hanyalah merawat dan mengasuh bayi yang ternyata cukup merepotkan. Apalagi jika tidak ada siapa pun yang membantu.

Akibatnya, ibu akan mengalami kelelahan yang luar biasa, kurang istirahat, ingin tidur tapi tidak bisa tidur, bahkan insomnia.

Di sisi lain, ibu akan merasa kecewa dan kesal ketika si kecil menangis dan rewel tidak berkesudahan, meski segala upaya telah dikerahkan dan ternyata tidak membuahkan hasil.

Selain itu, apabila si kecil muntah, secara tidak sadar ibu akan memarahi atau membentak si kecil. Sementara, suami biasanya bingung kenapa istrinya jadi sensitif dan mudah tersinggung.

Ibu yang sensitif ini menjadi tidak sabar, mudah marah, dan mudah terpancing emosinya. APalagi jika suami tidak berusaha membantu menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Ciri lain dari ibu yang alami sindrom baby blues adalah ibu merasa terasing. Belum lagi bila orangtua atau mertua banyak memberi komentar soal pengurusan anak hanya karena merasa lebih berpengalaman.

Atas hal itu, muncul rasa bersalah sekaligus malu jika dikomentari kurang terampil dalam mengurus anak dan lainnya.

Baca juga: 3 Ciri KhasBaby Blues pada Ibu yang Baru Melahirkan

2. Penyebab baby blues

Seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan, Jakarta, dr Ekarini, SpOG mengungkapkan ketika seorang wanita sedang hamil,hormon di dalam tubuh naik agar wanita siap menerima bayi.

Saat itu, ada ibu hamil di awal kehamilan mengeluh nyeri di bagian perut bawah, itu sebenarnya tanda ia memiliki sedikit hormon progesteron ketika janin mulai tumbuh dan rahim membesar.

"Kondisi ini persis seperti saat perempuan mau haid, di mana semua hormon drop dan suasana hati langsung berubah," ujar dr Eka.

Selain itu, makanan juga bisa memengaruhi munculnya baby blues. Ketika asupan gizi terpenuhi, baby blues dapat dihindari.

Dr Eka menambahkan bahwa pendarahan juga dapat menyebabkan baby blues. Ia mengungkapkan, sebaiknya Hemoglobin (Hb) darah pada ibu hamil setidaknya mencapai 10-12 agar tidak terjadi pendarahan.

Untuk menangani baby blues, dr Eka sangat menyarankan agar para wanita yang mengalami sindrom baby blues untuk mendapat perhatian dan dukungan dari lingkungan, khususnya keluarga dan suami.

Baca juga: Waspada Baby Blues Mengintai Ibu Hamil, Kenali Gejala dan Penyebabnya

3. Perbedaan depresi dan baby blues

Masalah gangguan emosional yang dialami ibu yang baru melahirkan memang dikenal dengan baby blues.

Namun, dalam kasus yang lebih berat, ibu bisa mengalami depresi pasca-melahirkan atau postpastum depression.

Bagi masyarakat awam, kedua hal ini belum begitu diketahui perbedaannya.

Praktisi psikologi dan juga terapis Nuzulia Rahma Trisnarum mengungkapkan bahwa baby blues akan membuat ibu sering merasa sedih, menangis, sering cemas, dan lebih sensitif.

Namun kondisi tersebut biasanya hanya terjadi tidak dalam janga waktu yang lama, paling tidak 3-6 hari.

Apabila ibu mengalami baby blues lebih dari dua minggu bahkan sampai satu bulan, kemungkinan berlanjur menjadi depresi pasca-kelahiran.

Menilik pada kasus ibu yang tega membunuh bayinya pasca-melahirkan, psikolog yang akrab disapa Lia ini menganggap bahwa tindakan tersebut bukan disebut baby blues.

Ia mengatakan bahwa ibu yang melukai bayi atau dirinya sendiri juga tidak selalu karena depresi pasca-kelahiran atau bisa terjadi karena psikosis atau gangguan jiwa.

Depresi pada ibu pasca-kelahiran bisa dari ringan hingga berat.

Adapun penyebab depresi pasca-kelahiran bisa gabungan antara fisik, psikologis, dan psikososial.

Gejala yang muncul melebihi kondisi baby blues, yaitu seorang ibu akan mulai mudah tersinggung, kehilangan nafsu makan, sering menangis, kehilangan minat terhadap diri sendiri dan bayi, bicara sendiri, hingga mulai ada pikiran melukai bayi dan diri sendiri.

Baca juga: Perbedaan Baby Blues dan Depresi Pasca-kelahiran

4. Baby blues juga dialami ayah baru

Tidak hanya ibu saja yang mengalami gejala baby blues, ayah baru juga dimungkinkan mengalami perubahan emosional pasca-kelahiran anak.

Asisten profesor pekerjaan sosial di Brigham Young University, Utah, AS, Shafer, mengisahkan bahwa dirinya pernah merasakan baby blues pasca-kelahiran putranya.

Ia mengaku merasakan banyak sekali tekanan untuk menjadi lebih baik lagi dalam pekerjaan, berperan menjadi ayah, dan menjadi suami yang baik. Semua hal itu membuat Shafer kewalahan.

Penelitian menunjukkan bahwa 5 dari 10 ayah baru mengalami depresi, dibandingkan sekitar 15 persen dari ibu baru.

Sementara itu, pada penelitian lainnya yang dipublikasikan dalam Pediatrics menjabarkan, gejala depresi ayah baru meningkat rata-rata 68 persen selama lima tahun pertama kehidupan anak mereka.

Diketahui, pria dengan riwayat kondisi mental memiliki risiko lebih tinggi depresi stelah menjadi ayah.

"Bagi beberapa ayah baru, kurang tidur, kurang kontrol, serta kurangnya rutinitas cukup untuk membuat mereka menjadi depresi," ujar pemimpin penelitian Pediatrics soal gejala depresi, Dr.Craig Garfield.

Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan pada 2013, lebih dari 6.000 keluarga, yakni kondisi ayah tiri dengan anak baru dan anak biologis yang tidak tinggal satu atap memiliki risiko tertinggi.

"Mereka merasa seperti tertarik dalam arah yang berbeda, akrena tidak banyak orang di sekelilingnya yang menjadi ayah biologis yang tidak punya tempat tinggal," ujar Shafer.

Selain itu, kurangnya dukungan dari lingkungan sosial akan membuat seseorang lebih stres dan sepresi.

Hal ini dimungkinkan bertambah parah jika pria itu tidak pernah terbuka menceritakan masalahnya dan berusaha terlihat tangguh.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk melewati kesedihan tersebut, salah satunya dengan berbicara dan mencurahkan perasaan pada orang yang dipercaya.

Baca juga: Ketika Ayah Baru Mengalami Sindrom Baby Blues

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com