Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Viral Semut Charlie Berbahaya di Medsos, Hewan Apa Itu Sebenarnya?

Kompas.com - 25/06/2019, 11:33 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com — Belakangan kabar tentang semut Charlie viral di media sosial. Pesan tersebut berisi foto seorang bayi dengan kulit penuh ruam mirip luka bakar, foto serangga kecil mirip semut dengan ekor lancip, dan keterangan bahwa bayi tersebut korban gigitan semut Charlie.

Terkait kabar tersebut, Kominfo telah menyampaikan bahwa kabar ini hoaks dan merupakan foto lama yang dikemas ulang.

"Foto bayi tersebut merupakan bayi yang terkena sindrom linear nevus sebaceous, sebuah penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada gen. Adapun semut Charlie yang disebut-sebut berbahaya tersebut sebenarnya merupakan serangga rove beetle atau populer dengan nama tomcat di Indonesia," tulis Kominfo dalam keterangan singkatnya.

Namun, seperti apa semut Charlie di mata ahli serangga?

Baca juga: Tips Sederhana Agar Semut Charlie Alias Tomcat Tidak Masuk ke Rumah

Menjawab pertanyaan itu, Kompas.com menghubungi Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cahyo Rahmadi.

Menurut Cahyo, serangga ini sebenarnya bukan semut, melainkan kumbang (Coleoptera) dari famili Staphylinidae. Hewan ini dikenal dengan nama ilmiah Paederus fuscipes dan di Indonesia lebih dikenal dengan nama tomcat.

"Seperti kelompok kumbang lain, secara umum (P fuscipes) memiliki tiga bagian tubuh, yaitu kepala, dada, dan perut dengan tiga pasang kaki dan memanjang," kata Cahyo kepada Kompas.com, Selasa (25/6/2019).

Tomcat di dalam tabung. Tomcat di dalam tabung.

Hewan berukuran 7-8 milimeter ini memiliki warna cerah, terutama kuning dan oranye pada rongga dadanya. Selain itu, dia memiliki sayap separuh dan antena berbentuk benang yang memanjang.

Cahyo membenarkan, kumbang ini memiliki zat tertentu yang mampu menyebabkan kulit seperti terbakar dan melepuh.

“Ini merupakan hasil endosimbiosis antara racun pada tomcat dan bakteri,” kata dia.

Ketika kumbang tomcat merasa terganggu, dia dapat mengeluarkan racun yang disebut pederin. Jika sudah menempel ke kulit, racun itu akan menimbulkan inflamasi atau peradangan.

Uniknya, tomcat jantan berperilaku mirip kalajengking ketika terancam. Mereka akan mengangkat ekornya dan mengeluarkan racun.

"Kumbang tomcat umumnya berada di permukiman dan populasi meningkat diperkirakan saat akhir musim hujan," ujar Cahyo.

Berkurangnya populasi pemangsa (predator) seperti burung karena perburuan oleh manusia juga bisa menyebabkan populasi hewan ini meningkat.

Tak hanya itu, berkurangnya mangsa yang disebabkan perubahan fungsi lahan sehingga banyak populasi bersinggungan dengan permukiman, seperti alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman, dan hutan menjadi perkebunan, juga berkontribusi atas kenaikan populasi kumbang tomcat.

Baca juga: Sulawesi, Rumah Kumbang Yoda Star Wars dan 100 Spesies Baru Lainnya

Cahyo memperingatkan untuk menghindari tomcat bila kita melihatnya. Jika sudah terkena tomcat, jangan dipencet atau dipukul karena kumbang tomcat pasti akan terbang.

"Sebab, bila mereka ditekan atau digencet, racun akan keluar dari tubuh kumbang dan menyebabkan iritasi. Jika sudah terkena cairan dari tubuh tomcat, lebih baik disiram air mengalir untuk kondisi darurat," paparnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com