Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ternyata, Tanduk Rusa Berasal dari Sel Kanker Tulang

Kompas.com - 21/06/2019, 19:37 WIB
Julio Subagio,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Tanduk merupakan salah satu aksesoris yang umum ditemukan pada kelompok mamalia pemamah biak (ruminansia), khususnya pada hewan jantan. Tanduk dengan berbagai macam bentuk dimiliki oleh pejantan untuk menarik perhatian betina saat musim kawin serta digunakan untuk berduel dengan pejantan lain saat berebut pasangan.

Namun, ternyata keberadaan tanduk ini memiliki rahasianya sendiri.

Studi terbaru yang dilakukan oleh tim peneliti gabungan dari China dan Denmark mengungkap rahasia di balik perkembangan tanduk, yang memiliki implikasi terhadap perkembangan sel manusia.

Semula, peneliti tertarik untuk mempelajari asal usul evolusi tanduk pada ruminansia, yang memiliki beragam struktur dan bentuk.

Baca juga: Terungkap, Alasan Paus Unicorn Narwhal Punya Tanduk

Sebagai contoh, rusa dan kijang memiliki tanduk yang disebut antler, tersusun atas rangka tulang dilapisi oleh kulit dan jaringan saraf khusus yang dapat tumbuh dan berganti setiap tahunnya.

Lain halnya dengan jerapah, yang memiliki tanduk ossicle, tersusun atas tulang yang terbungkus kulit dan rambut halus.

Sementara itu, sapi dan domba memiliki tanduk yang dilapisi oleh lapisan keratin yang kering dan mengeras, menyisakan sedikit ruang berongga di dalamnya.

Meski memiliki struktur dan bentuk yang beragam, namun ternyata berbagai tanduk ini dibentuk oleh gen yang sama. Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap genom dari 44 spesies hewan pemamah biak yang berbeda, termasuk sapi, rusa, kijang, jerapah, domba, dan lain-lain, terungkap bahwa semuanya diatur oleh kelompok gen yang sama.

Hal ini mensugestikan bahwa evolusi tanduk terjadi hanya sekali, yakni pada nenek moyang bersama dari para hewan pemamah biak modern yang eksis saat ini. Gen yang bertanggung jawab terhadap pembentukan tanduk diduga mengatur jaringan embrionik yang dinamakan neural crest.

Perbandingan dan analisis genetik terhadap dua hewan pemamah biak yang tidak bertanduk, yakni spesies rusa kesturi dan kancil air mengonfirmasi hal ini, karena mereka mengalami mutasi pada gen tersebut sehingga tidak dapat memiliki tanduk.

Baca juga: Di Sumatera Selatan, Ditemukan Katak dengan Tanduk Tak Bertulang

Hal lain yang terungkap adalah, delapan gen aktif yang terlibat dalam pembentukan tanduk pada hewan ini merupakan gen yang juga berperan dalam pembentukan dan pertumbuhan tumor.

Berbeda dengan kanker tulang (osteocarcinoma) yang tidak terkontrol, pertumbuhan tanduk diatur melalui aktivasi dan inaktivasi gen kanker yang berbeda.

Artinya, tanduk merupakan struktur organ yang dihasilkan oleh pertumbuhan sel kanker tulang yang terkendali.

“Tanduk rusa pada dasarnya dibuat dengan mengendalikan pertumbuhan sel tulang yang mengalami kanker,” ujar Edward Davis, seorang paleobiolog evolusioner dari University of Oregon, dilansir dari Science.

Hal ini pula yang menyebabkan risiko kanker pada hewan pemamah biak relatif rendah.  Diketahui bahwa rusa memiliki risiko kemunculan kanker lima kali lebih rendah dibanding mamalia lain, termasuk manusia.

Temuan yang dipublikasikan di jurnal Science ini diharapkan dapat membantu penelitian sel kanker, terutama memahami bagaimana sel kanker dapat dikendalikan, dan suatu saat, dimanfaatkan untuk menumbuhkan jaringan yang mati, sehingga dapat digunakan dalam regenerasi organ atau anggota tubuh yang lumpuh.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com