Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi Baru Temukan, Pohon di Kota Lebih Cepat Tumbuh dan Mati

Kompas.com - 19/06/2019, 19:35 WIB
Julio Subagio,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Kehidupan di perkotaan, khususnya kota besar seperti Jakarta, menghasilkan emisi karbon yang sangat tinggi. Hal ini membuat udara menjadi pengap dan tidak segar, serta suhunya meningkat.

Idealnya, kondisi ini diantisipasi dan diimbangi dengan keberadaan ruang terbuka hijau atau taman kota yang menjadi tempat tumbuhnya pepohonan besar, sehingga karbon dioksida yang dihasilkan oleh aktivitas manusia setiap harinya dapat diserap secara optimal oleh berbagai tumbuhan ini sebagai paru-paru kota.

Namun, benarkah rimbunnya pepohonan kota dapat mengurangi polusi udara? Apakah pepohonan ini dapat mengimbangi tingkat polusi yang sedemikian tinggi?

Berdasarkan studi terbaru yang dilakukan oleh sekelompok peneliti dari Boston University, kenyataannya tidaklah demikian.

Studi yang dipublikasikan di jurnal PloS One ini mengungkap bahwa pohon yang tumbuh di perkotaan dapat tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan di tempat lain, misalnya kawasan pedesaan ataupun hutan, namun hal ini juga menjadikannya mati lebih cepat.

Baca juga: Studi Temukan Jumlah Pohon yang Harus Ditanam Agar Kota Layak Huni

Tumbuhan menyerap CO2 lalu mengubahnya menjadi senyawa karbon kompleks berupa gula, yang kemudian disimpan dalam jaringan tubuhnya. Hal ini dapat diukur melalui pertumbuhan primer, yaitu tinggi pohon, serta pertumbuhan sekunder, yakni diameter pohon.

Studi ini dilakukan dengan cara mengukur diameter batang dari pohon oak merah dan maple yang tumbuh di kota Boston, dalam kurun waktu dari tahun 2005 hingga 2014. Diameter batang pohon ini menunjukkan pertumbuhan sekunder yang dialami pohon tersebut setiap tahunnya.

Hasilnya, diketahui bahwa pohon yang tumbuh di kota Boston memiliki pertumbuhan hampir empat kali lebih cepat dibandingkan pohon yang tumbuh di kawasan hutan terdekat.

Pohon muda yang tumbuh di perkotaan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dibanding pepohonan di desa,” ujar Lucy Hutyra, penelti ilmu lingkungan dari Boston University, seperti yang dilansir dari Science News for Students.

Hal ini karena pohon perkotaan menyerap lebih banyak CO2 dibandingkan di tempat lain. Namun, kecepatan pertumbuhan yang tinggi ini juga berdampak pada usianya yang lebih pendek dan lebih cepat mati.

Baca juga: Buruknya Kehidupan di Kota Besar bagi Kesehatan Jiwa

Selain penyerapan CO2 lebih banyak, pohon di perkotaan juga memiliki tingkat kompitisi terhadap cahaya Matahari yang lebih rendah, karena masing-masing pohon tidak memiliki jarak yang terlalu rapat sehingga dapat menyerap cahaya dalam jumlah besar.

Faktor lainnya adalah kandungan nitrogen pada air hujan yang turun di perkotaan lebih tinggi. Nitrogen ini berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil, yang kemudian menguap ke udara dan terakumulasi di awan, sebelum akhirnya mencapai daratan dalam bentuk molekul yang terbawa oleh hujan.

Meski demikian, Hutyra mengingatkan bahwa hasil ini dapat berbeda sesuai dengan iklim lokal perkotaan.

“Pada lokasi yang memiliki iklim kering, pohon kota dapat merespons dengan cara yang berbeda karena kondisi suhu yang tinggi dan ketersediaan air yang minim. Bisa jadi pertumbuhan pohon akan melambat,” tuturnya.

Informasi baru ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan dapat diimplementasikan dalam pengelolaan tata kota, misalnya untuk mencari jenis pohon yang ideal untuk ditanam pada areal perkotaan, serta di mana lokasi yang tepat untuk pembuatan taman kota yang dapat mendorong penyerapan karbon secara optimal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com