Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Om dan Tante, Ketahui Etika Tanya “Kapan Nikah?” Saat Lebaran

Kompas.com - Diperbarui 18/04/2023, 16:21 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com – Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri identik dengan acara berkumpul bersama keluarga. Namun sering kali, acara bersama dengan keluarga ini dikeluhkan oleh para anak muda karena pertanyaan "kapan nikah?".

Dari zaman ke zaman, pertanyaan yang paling sering bikin muda-mudi Indonesia berkeringat dingin dan menjauh pelan-pelan adalah “kapan nikah?”. Pertanyaan ini paling sering didengar ketika mudik lebaran atau kondangan.

Baca juga: Merasa Sedih Libur Lebaran Usai, Waspadai Post-Holiday Blues

Dampak buruk bertanya "kapan nikah?"

Walau terdengar sepele, sebaiknya pertanyaan sepersonal ini hanya dilontarkan setelah melalui pertimbangan matang saja.

Pasalnya, pertanyaan “kapan nikah?” yang dilontarkan hanya sebagai basa-basi bisa berdampak buruk bila dilontarkan ke orang yang salah.

Seseorang yang mengalami depresi, misalnya, bisa bertambah buruk kondisinya bila mendapatkan pertanyaan seperti itu.

Bahkan, menurut Rizqy Amelia Zein yang mengajar Social and Personality Psychology dari Universitas Airlangga, pertanyaan ini bisa memicu orang yang suicidal untuk benar-benar bunuh diri.

Perlu untuk Anda ingat, sering kali orang-orang yang mengalami depresi tidak secara eksplisit menampakkannya sehingga ada baiknya untuk menahan pertanyaan yang sifatnya terlalu personal seperti itu.

Baca juga: Jelang Mudik, Ini Jawaban Psikolog Hadapi Pertanyaan “Kapan Nikah?”

Lebih lanjut, Astrid Wen selaku psikolog anak dan keluarga, serta theraplay practitioner dari Pion Clinician, berkata bahwa terpapar pertanyaan “kapan nikah?” berulang-ulang dapat membuat seseorang menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup.

Akibatnya, orang tersebut bisa merasa gagal bila belum menikah dan rentan terjerumus dalam pernikahan ketika sebetulnya belum siap dan belum benar-benar mengenal orang yang dinikahinya.

Selain itu, pertanyaan “kapan nikah?” yang berulang-ulang juga dapat membentuk pola pikir seseorang sehingga menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup.

Terpapar berulang kali pertanyaan "kapan nikah", seseorang yang belum menikah bisa jadi merasa gagal atau belum lengkap.

Mereka pun rentan terjerumus dalam pernikahan hanya karena tuntutan keluarga, padahal belum siap dan tak benar-benar mengenal orang yang dinikahinya.

Etika bertanya “kapan nikah?”

Memang, pertanyaan “kapan nikah?” tidak sepenuhnya buruk.

Astrid mengakui bahwa pertanyaan ini dapat mengingatkan orang-orang yang merasa terpanggil untuk menikah agar tidak terlalu asyik dengan kehidupan lajangnya.

Selain itu, pertanyaan ini juga dapat membuka komunikasi yang cukup penting di antara pasangan dan mempererat hubungan mereka.

Akan tetapi, bertanya “kapan nikah?” juga ada etikanya yang perlu diikuti.

Baca juga: Orang Indonesia dan Pertanyaan “Kapan Nikah?”

Pertama, jangan menggunakannya hanya sebagai bahan basa-basi. Astrid berkata bahwa masih ada banyak pertanyaan lain yang tidak personal untuk berbasa-basi.

Pertanyaan ini baru boleh dilontarkan bila hubungan atau relasi Anda memang cukup dekat dengan orang tersebut.

“Tanya saja dulu kabarnya lalu ikuti ceritanya. Kalau orang itu tidak cerita soal relasinya, berarti orang itu tidak terbuka (untuk membicarakannya),” ujarnya.

Kedua, pertimbangkan kesiapan individu yang ditanya untuk menikah.

Astrid mengatakan, memang benar negara sudah memberikan usia yang baik untuk menikah itu kapan, tetapi perlu diberikan edukasi psikologis atau kampanye nasional mengenai usia menikah yang baik.

“Lalu, kalau bisa diadakan diskusi-diskusi dengan para pemuka agama untuk benar-benar menyiapkan para perempuan agar menikah dengan kesiapan rahim, kesiapan gizi, dan kesiapan mental,” katanya.

Terakhir, Astrid berpesan agar orangtua sendiri juga tidak buru-buru menikahkan anaknya atau mendesak sang anak untuk menikah.

“Yang membuat seorang dewasa muda sehat mentalnya bukanlah sudah menikah atau tidak, melainkan ketika dia bisa menemukan orang yang dia cintai dan dia bisa lekat dengan orang tersebut. Lalu, tidak hanya (lekat) pada orang tersebut, dia juga bisa berkontribusi pada lingkungannya,” ujar Astrid.

Baca juga: Sering Jadi Alasan Batal Nikah, Sejak Kapan Budaya Upacara Pernikahan Jadi Mahal?

Untuk paparan lebih lengkap mengenai fenomena “Kapan nikah?” seperti alasan orang Indonesia suka menanyakannya dan bagaimana menanggapinya, klik di sini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com