Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Neurosains Jelaskan Cara Kerja Otak Sulut Kerusuhan 22 Mei 2019

Kompas.com - 23/05/2019, 16:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Berry Juliandi

PERISTIWA pemilihan presiden dalam dua dekade terakhir terbukti meningkatkan tingkat emosi masyarakat seiring dengan polarisasi yang semakin tajam antara kubu Joko “Jokowi” Widodo dan lawannya, Prabowo Subianto.

Tahun ini dengan semakin meluasnya penggunaan telepon seluler dan media sosial, masyarakat terpapar beragam informasi, palsu maupun valid, yang memicu perasaan cemas, amarah, takut. Hal ini mendorong individu-individu untuk bereaksi dalam beragam cara, dari berceloteh di media sosial hingga terlibat dalam kerusuhan dan menyulut bom molotov.

Hal ini terjadi pada aksi kerusuhan di beberapa titik di Jakarta yang diduga disulut oleh penyebaran informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan di media sosial.

The Conversation Indonesia melakukan tanya jawab dengan Berry Juliandi, peneliti neurosains dari Institut Pertanian Bogor untuk mengetahui mengapa aksi kerusuhan ini bisa terjadi dari aspek bagaimana otak manusia bekerja ketika menerima (dis)informasi.

Dengan memahami cara kerja otak, kita akan lebih menyadari jika tindakan kita didorong oleh emosi yang tidak teregulasi dengan baik.

Apa yang terjadi dengan otak manusia ketika menerima informasi, baik yang benar atau palsu?

Ketika manusia menerima stimuli informasi otak kita memiliki dua cara untuk memproses informasi tersebut.

Cara pertama, terjadi secara cepat dan didorong oleh naluri bertahan hidup, diatur oleh bagian otak yang disebut otak “kuno”. Sementara cara kedua, terjadi secara lebih lambat dan menggunakan logika, diatur oleh bagian otak yang disebut otak “baru”.

Otak “kuno” mengatur fungsi hewani seperti nafas, nafsu makan, dan rasa takut. Otak kuno ini dimiliki oleh semua hewan bertulang belakang. Bagian dari otak kuno yang mengatur bermacam-macam nafsu (seperti nafsu berahi, amarah, dan makan) disebut hipotalamus. Sementara bagian dari otak kuno yang mengatur rasa takut disebut amigdala.

Otak “baru” atau neocortex membentuk otak besar atau cerebrum yang mengatur rasionalitas, kognisi, penglihatan–hal-hal yang membantu manusia mengambil keputusan yang didasari logika. Otak baru berkembang pesat di hewan mamalia golongan primata, yaitu monyet, kera dan manusia.

Ketika manusia menerima pesan dari lingkungan melalui indera mata, telinga, kulit, penciuman, mulut, otak menganalisis pesan tersebut.

Sebelum pesan tersebut sampai ke otak besar, pesan tersebut melewati pengolahan di otak kuno terlebih dahulu. Amigdala akan bertugas menilai apakah pesan ini mengandung sesuatu yang berbahaya. Jika amigdala menganggap pesan tidak berbahaya, pesan ini akan dilanjutkan ke otak besar untuk diolah dengan mempertimbangkan bermacam-macam hal.

Jika amigdala menilai pesan berbahaya, proses pengolahan informasi di otak besar akan diloncati, dan ia akan langsung menghubungi hipotalamus yang mengatur nafsu.

Otak manusia. Shutterstock

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com