Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Media Sosial Bisa Mengeskalasi Kerusuhan 22 Mei?

Kompas.com - 23/05/2019, 14:30 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com – Dalam upaya mencegah provokasi dan penyebaran hoaks, pemerintah mengambil tindakan untuk membatasi akses media sosial pada 22 Mei 2019 kemarin.

Dikutip Kompas.com, Rabu (22/5/2019); Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengatakan, Kami adakan pembatasan akes di media sosial. Fitur tertentu untuk tidak diaktifkan untuk menjaga hal-hal negatif yang terus disebarkan masyarakat.

“Ada skenario untuk membuat kekacauan, menyerang aparat keamanan, dan menciptakan antipati kepada pemerintahan yang sah,” imbuhnya.

Walaupun membuat sebagian masyarakat Indonesia menjadi tidak nyaman, keputusan pemerintah untuk membatasi akses media sosial bukan tanpa alasan. Sains telah membuktikan bahwa media sosial memang bisa mengeskalasi kerusuhan 22 Mei 2019.

Baca juga: Demi Kesehatan, Berhentilah Terus Menerus Mencari Informasi Terkini

Sebuah studi yang dilaksanakan oleh para peneliti di University of Southern California (USC) dan dipublikasikan dalam Nature Human Behaviour pada 2018 menemukan bahwa retorika moral di Twitter bisa menjadi sinyal kapan sebuah protes akan berubah menjadi kekerasan.

Penulis studi Morteza Dehghani yang juga peneliti di Brain and Creative Institute USC berkata bahwa gerakan ekstrem bisa muncul melalui jaringan sosial.

“Kita telah melihat beberapa contohnya selama beberapa tahun terakhir, seperti protes di Baltimore dan Charlottesville, di mana persepsi masyarakat dipengaruhi oleh aktivitas di media sosial mereka. Mereka mengidentfikasikan orang lain yang memiliki kepercayaan serupa dan menganggapnya sebagai konsensus,” katanya.

“Dalam studi ini, kami menunjukkan bahwa hal ini berpotensi memiliki menimbulkan konsekuensi yang berbahaya,” imbuhnya lagi.

Baca juga: Efek Gas Air Mata pada Tubuh dan Penanganannya

Para peneliti mendapatkan kesimpulan tersebut setelah menganalisis 18 juta unggahan Twitter ketika protes Baltimore 2015. Mereka ingin mencari tahu asosiasi unggahan beretorika moral di media sosial dengan tingkat penahanan.

“Kami berfokus pada moralitas karena begitu sebuah protes dimuati moral secara cukup, ia menjadi masalah benar atau salah, bukan sekadar pilihan pribadi,” tulis para peneliti.

Untuk diketahui, protes Baltimore 2015 dipicu oleh meninggalnya seorang pemuda berusia 25 tahun, Freddie Gray, ketika sedang dibawa oleh polisi ke tahanan. Protes ini berlangsung berminggu dan beberapa kali diwarnai dengan kerusuhan.

Dalam mendeteksi retorika moral di Twitter, para peneliti melatih kecerdasan buatan (AI) dengan jaringan deep neural menggunakan 4.800 unggahan. Moral yang diteliti didasarkan pada “Moral Foundations Theory” yaitu: menyayangi/melukai, adil/curang, loyalitas/pengkhianatan, otoritas/subversi, kesucian/degradasi.

Baca juga: Malaysia Kembalikan Sampah Plastik ke Negara Asal, Bagaimana Indonesia?

Sebagai contoh, unggahan “Mengapa oposisi hanya bicara tentang kekerasan orang kulit hitam terhadap orang kulit hitam sebagai balasan terhadap brutalitas/pembunuhan oleh polisi? #SemuaKekerasanSama, kan? #Freddie Gray” diidentifikasikan bermuatan keadilan dan loyalitas.

Hasilnya menunjukkan bahwa unggahan Twitter beretorika moral memang naik dua kali lipat pada hari-hari di mana protes berubah menjadi kerusuhan.

Lebih jauh, para peneliti juga menemukan bahwa sesuai dengan hipotesis mereka, semakin banyak jumlah unggahan yang bermuatan moral, semakin banyak juga penahanan yang terjadi pada hari tersebut.

Selain itu, para peneliti juga melakukan tiga eksperimen yang masing-masingnya melibatkan lebih dari 200 orang. Para partisipan diminta untuk membaca satu paragraf mengenai kerusuhan Charlottesville 2017 dan memberikan opini mereka mengenai penggunaan kekerasan terhadap massa sayap kanan.

Mereka menemukan partisipan lebih mungkin untuk menyetujui penggunaan kekerasan dalam protes ketika suatu isu dimoralkan, dan tingkat kekerasan ini semakin meningkat berdasarkan jumlah orang yang menyetujui opini tersebut.

Para peneliti menulis, peningkatan kekerasan dalam protes bisa merefleksikan meningkatknya moralisasi dan polarisasi mengenai suatu isu politik di ruang gema (echo chamber) online.

Untuk meredam penggunaan kekerasan dalam protes, para peneliti pun mengusulkan untuk mengurangi moralisasi suatu sikap dan melarutkan persepsi bahwa ada banyak orang yang sependapat mengenai opini tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com