KOMPAS.com - Perempuan sering kali dianggap sebagai makhluk yang lebih perasa dibanding lelaki. Kini, sebuah penelitian terbaru bisa dikatakan mengonfirmasi hal tersebut.
Penelitian tersebut memang tidak langsung mengatakan bahwa perempuan lebih perasa daripada laki-laki. Studi itu justru mengonfirmasi bahwa perempuan berduka lebih lama untuk kematian teman dekatnya dibanding para laki-laki.
Menurut para peneliti, rasa duka yang lebih lama ini terjadi karena perempuan memiliki ikatan sosial yang lebih erat.
Kabar buruknya, rasa duka yang mendalam dan lama ini juga berimbas pada kesehatan perempuan. Peneliti menemukan perempuan mengalami penurunan kesehatan secara signifikan bahkan setelah empat tahun berkabung.
Baca juga: Mengatasi Rasa Berkabung yang Berkepanjangan
Dari data 26.515 orang selama 14 tahun, peneliti yang berasal dari University of Stirling dan Australian National University (ANU) itu menemukan bahwa perempuan mengalami penurunan vitalitas yang lebih tajam dan kemunduran kesehatan mental yang besar.
Data tersebut juga menunjukkan, pria biasanya mengalami kesedihan dan kekecewaan pada tahun pertama setelah kematian sahabat dekat. Sebaliknya, perempuan justru mengalami rasa sedih lebih panjang.
"Data kami dapat mencerminkan hipotesis bahwa perempuan memiliki ikatan yang lebih erat dan memiliki ikatan sosial emosional yang lebih besar daripada rekan-rekan pria mereka," tulis para peneliti dalam makalah yang diterbitkan dalam jurnal Plos One.
Kebanyakan penelitian lain mengamati kesedihan yang dirasakan ketika orang terdekat seperti kerabat, orang tua, atau pasangan meninggal. Studi ini memberikan perbedaan untuk melihat hal yang lebih luas, yaitu kesedihan akibat kematian sahabat dekat.
"Kita semua tahu bahwa ketika seorang pasangan, anak atau orang tua meninggal, orang yang ditinggalkan kemungkinan akan berduka dan merasa lebih buruk untuk beberapa waktu sesudahnya. Dampak dari kematian seorang teman, yang sebagian besar dari kita akan alami, tidak diberikan rasa keseriusan yang sama," kata Dr Liz Forbat, associate professor di fakultas ilmu sosial Stirling University.
"Ada penurunan kesehatan dan kesejahteraan orang-orang yang memiliki seorang teman yang meninggal dalam empat tahun sebelumnya, namun para pemberi kerja, dokter, dan masyarakat tidak berfokus untuk memberikan dukungan kepada teman-teman yang berkabung," imbuhnya dikutip dari The Independent, Senin (13/05/2019).
Studi ini menunjukkan bahwa lebih banyak layanan kesehatan yang harus tersedia untuk membantu orang mengembangkan jaringan dukungan yang diperlukan setelah kematian seorang teman.
"Kematian seorang teman adalah bentuk kesedihan yang dicabut hak pilihnya - seorang yang tidak ditanggapi begitu serius atau diberi makna sedemikian. Ini berarti kesedihan mereka mungkin tidak diakui atau diungkapkan secara terbuka, dan dampaknya diremehkan," kata Dr Forbat.
"Penelitian ini membuktikan bahwa kematian seorang teman penting dan, sebagai pengalaman manusia universal, temuan ini dapat diterapkan secara internasional," pungkasnya.
Baca juga: Sedih dan Tak Bahagia Setelah Melahirkan, Tanda Depresi?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.