Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

27 Steps of May, Bagaimana Mestinya Hadapi Korban Kekerasan Seksual?

Kompas.com - 05/05/2019, 17:03 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Selain Avengers: Endgame, film Indonesia berjudul 27 Steps of May juga sedang tayang di bioskop dan menyedot perhatian banyak orang, terutama para aktivis perempuan. Film garapan Ravi Bharwani ini disebut memiliki emosi kuat tentang kekerasan seksual.

Pertama kali diputar di Busan International Film Festival 2018, film ini mendapat perhatian luas dan dukungan dari negara lain.

27 Steps of May adalah film sepi minim dialog berkisah tentang seorang perempuan bernama May yang menjadi korban pemerkosaan dan mengalami pergulatan batin selama bertahun-tahun. Selain itu, May juga memiliki relasi berjarak dengan sang ayah karena trauma tersebut, tapi sang ayah selalu mencoba memahami May. 

Setelah menonton film tersebut, mungkin ada yang terinspirasi untuk lebih kuat dalam menghadapi persoalan seperti ini. Namun, bagaimana semestinya keluarga dan lingkungan menghadapi korban kekerasan sekssual dengan pengalaman pahit seperti tokoh May?

Baca juga: Jika Anak Minta Penjelasan Peristiwa Kekerasan Seksual

Menjawab pertanyaan ini, Kompas.com menghubungi psikolog klinis dari Personal Growth, Linda Setiawati.

Linda terlebih dulu mengajak pembaca Kompas.com untuk memahami bahwa kekerasan seksual yang dialami seseorang adalah pengalaman traumatis, yang bisa memunculkan berbagai dampak negatif bagi korban, salah satunya seperti yang dialami oleh May yaitu menutup diri.

"Pada tahap yang lebih parah, para korban bisa mengalami PTSD (post-traumatic stress disorder), PTSD merupakan gangguan psikologis yang muncul akibat kejadian traumatis yang terjadi, baik yang dialami secara langsung maupun yang disaksikan," kata Linda.

Ada beberapa gejala individu dengan PTSD yang perlu diperhatikan menurut Linda.

Korban terus-menerus terbayang memori peristiwa kekerasan yang dialami, menghindari segala hal yang bisa membuat mereka teringat memori tersebut, menjadi sangat cemas dan awas, serta adanya perubahan mood.

Linda berpendapat, isu seksualitas merupakan isu yang masih tabu, khususnya di Indonesia. Hal ini secara tidak langsung membuat banyak korban kekerasan seksual yang tidak berani menceritakan pengalamannya kepada orang lain.

"Mereka takut dengan stigma yang ada di masyarakat jika orang lain mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya," kata Linda.

"Oleh karena itu jika ada kerabat atau kenalan kita yang menjadi korban kekerasan seksual, hal pertama yang bisa kita lakukan adalah menjadi pendengar yang berempati dan tidak judgmental," jelas dia.

Selain menjadi pendengar yang baik, penting untuk terus-menerus menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman, juga memberikan emosi positif kepada korban agar mereka merasa tidak sendirian dan kemudian nyaman untuk membuka diri.

"Jika mereka belum mau bercerita, bisa diajak melakukan kegiatan-kegiatan lain yang bisa menjadi penyaluran dan caranya mengekspresikan diri. Misalnya melalui musik, seni, dan lain-lain. Mencari bantuan kepada ahlinya, seperti psikolog, juga bisa membantu proses pemulihan," tukas Linda.

Trauma kekerasan seksual, tak hanya dirasakan para korban

Kekerasan seksual yang dialami dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada diri korban, baik dalam aspek emosi, pemikiran, atau perilaku.

Nah, apa yang dialami dan dirasakan para korban kekerasan seksual sangat bisa memengaruhi orang-orang di sekitarnya, terlebih jika korban tidak memberitahukan apa yang terjadi pada orang terdekat.

"Sangat wajar jika anggota terdekat menjadi bingung, lelah, dan putus asa berhadapan dengan perubahan yang terjadi pada korban, apalagi jika berlangsung terus-menerus," ujar Linda.

Jika hal ini terjadi, Linda menyarankan agar orang terdekat juga perlu mencari bantuan, baik dari orang terdekat lainnya, maupun mencari bantuan profesional.

Baca juga: Anak Jalanan Rentan Alami Kekerasan Seksual

Melawan trauma kekerasan seksual

Linda mengatakan ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk melawan trauma kekerasan seksual dan bangkit lagi.

Pertama, para korban perlu dibantu untuk menyadari dan menerima kondisinya yang sedang tidak baik akibat kejadian yang dialami.

Kedua, mereka bisa diarahkan untuk mengekspresikan emosi yang dirasakannya, dengan berbagai cara yang membuat mereka nyaman. Misalnya dengan membuka diri kepada orang terdekat yang nyaman baginya, menulis diari/jurnal, menggambar, bergabung ke dalam komunitas tertentu (seperti support group) atau aktivitas positif lainnya.

Hal-hal yang dilakukan tersebut dapat membantu para penyintas untuk tidak selalu fokus pada kejadian negatif yang dialami, tetapi juga melihat dan melakukan hal lain yang lebih positif serta produktif.

Ketiga, mereka bisa menyusun rencana dan langkah-langkah ke depannya, untuk membangun kembali kepercayaan diri mereka. Kejadian traumatis yang dialami dapat membuat korban merasa tidak berharga dan malu dengan diri mereka sendiri.

"Jika diperlukan, para korban juga dapat mencari pertolongan profesional. Hal ini dapat membantu mengurangi gejala yang muncul akibat trauma yang terjadi, membantu proses pemulihan lebih cepat, dan mengurangi kemunculan dampak negatif yang lebih besar," ujar Linda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com