Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Menelusuri Biodiversitas Urban di Cikapundung, Ini Temuan Peneliti

Kompas.com - 02/05/2019, 18:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Endah Sulistyawati dan Dasapta Erwin Irawan

RISET biodiversitas di kawasan urban dan mudah dijangkau tidak kalah menarik dibanding riset serupa di daerah lereng pegunungan, pedalaman hutan, atau daerah yang tidak terjamah.

Salah satu contoh yang terkenal adalah cerita ahli ekologi Amerika Serikat Mark Erdmann yang menemukan ikan purba Coelacanth di Manado, Sulawesi Utara.

Suatu hari, pada September 1997, Mark dan istrinya berkunjung ke sebuah pasar di Manado. Di sana dia melihat sebuah spesies ikan aneh, yang kemudian diketahui sebagai salah satu ikan tertua di dunia. Ikan ini, seekor Coelacanth, bahkan diberi nama alias fosil hidup (living fosil). Temuan itu kemudian ditulis dalam sebuah makalah pendek yang terbit di Nature.

Dalam perkembangan berikutnya, kini selain ikan Coelacanth, ada banyak spesies ikan lain yang telah tercatat terancam punah dan harus dilindungi.

Spesies invasif

Dari Cikapundung, Bandung, kami juga punya cerita menarik tentang biodiversitas urban. Dari sekitar 335 spesies yang kami temukan di bantaran Sungai Cikapundung, 22 spesies (7%) di antaranya merupakan spesies invasif alias bukan spesies asli habitat di sana. Spesies ini mengganggu pola hidup spesies lainnya.

Kami juga menemukan ada pengurangan tutupan vegetasi dari hulu ke hilir sungai. Ini merupakan riset pertama untuk biodiversitas di bantaran sungai tersebut.

Pada 2017, kami bersama Keukeu Kaniawati Rosada dari Universitas Padjadjaran dan dua mahasiswa Tantra Rahmadia dan Meli Triana Devi, mengamati keanekaragaman ekosistem di bantaran (zona riparian) sungai Cikapudung. Hasilnya telah kami sampaikan di konferensi internasional di Semarang.

Dalam studi ini, kami memetakan/membagi Sungai Cikapundung menjadi 100 segmen observasi. Di setiap segmen, kami mengamati dalam kuadran berukuran 5x20 meter. Karena biodiversitas merupakan variasi dan variabilitas kehidupan di Bumi, kami mengukur variasi pada level genetik, spesies, dan ekosistem.

Temuan sekitar 335 spesies di Sungai Cikapundung itu berasal dari arah hulu hingga muaranya ke Sungai Citarum. Indeks diversitas dan kekayaan spesies umumnya tinggi di bagian hulu dan rendah di bagian hilir. Diversitas tanaman tak berkayu atau herba lebih tinggi dibanding perdu dan pepohonan.

Melihat angka-angka ini, seolah begitu membuka pintu rumah, kita sudah langsung melihat keanekaragaman alam.

Dari spesies invasif sebesar 7% (22 spesies), ada dua spesies yang dominan yaitu Alternanthera philoxeroides (bayam kremah) dan Ageratum conyzoides(bandotan).

Dampak dari kehadiran spesies invasif bisa macam-macam. Misalnya, dua spesies ini terkenal dapat mengganggu nutrisi vegetasi lain serta memenuhi alur sungai, sehingga mengganggu transportasi air.

Dua spesies ini diketahui berasal dari Amerika Selatan. Dalam perkembangannya, kedua spesies ini juga berkembang di Asia, termasuk Indonesia. Proses migrasinya belum diketahui dengan pasti sehingga perlu riset lebih lanjut.

Selain riset kami, pola penyebaran vegetasi di Bandung sudah menjadi riset menarik sejak awal 1990-an, saat sekelompok peneliti Belanda menelaah penyebaran polen (serbuk sari) tumbuhan untuk merekonstruksi bentang alam Cekungan Bandung pada masa lampau.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com