Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Murni Pribumi, Kerangka Situs Lambanapu Bukti Percampuran Ras Sejak 2.000 Tahun Lalu

Kompas.com - 29/04/2019, 21:22 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Sejak tahun 2016 lalu, para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) melakukan penggalian pada sebuah situs purba berusia 2.000 tahun di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Situs tersebut diberi nama situs Lambanapu karena lokasinya.

Selama penelitian di situs tersebut, beragam hal ditemukan. Salah satu analisis tentang temuan di situs Lambanapu tersebut adalah tentang jejak leluhur orang Indonesia.

Penelitian mengenai hal tersebut diterbitkan dalam jurnal Amerta tersebut mengungkap bahwa leluhur orang Sumba tidak hanya berasal dari satu ras. Hal ini juga diungkapkan Retno dalam wawancara kepada Kompas.com, Jumat (26/04/2019) kemarin.

"Jadi kalau Indonesia itu kan ada beberapa ras yang masuk ya. Mulai dari Austronesia, Austromelanesid. Nah, yang ada di sini (situs Lambanapu) itu ada percampuran," ungkap Retno melalui sambungan telepon.

Baca juga: Arkeolog Kembali Gali Situs 2.000 Tahun di NTT, Apa Temuan Terbarunya?

"Jadi kita di sini ada ahli rangkanya, mungkin nanti bisa menjelaskan. Ini (yang ditemukan di situs Lambanapu) tidak semuanya Mongoloid, ada percampuran dengan Austromelanesid," imbuhnya.

Hal ini juga tertulis dalam laporan penelitian yang ditulis Retno dan timnya dalam jurnal Amerta. Menurut laporan studi itu, percampuran genetika memang sangat mungkin terjadi mengingat sejarah hunian Nusantara terisi beberapa gelombang migrasi besar di masa lampau.

"Jadi itu menandakan apa? Mongoloid kan datang dari, kita percaya selama ini, China daratan. Sementara austromelanesia dari arah yang lain lagi," ujar peneliti dari Puslit Arkenas itu.

"Artinya, di sini ada percampuran," tegas Retno.

Hal ini, menurut Retno, bisa mengungkapkan bahwa sejak ribuan tahun lalu masyarakat Indonesia telah mengenal percampuran ras melalui perkawinan.

"Artinya apa, 2.000 tahun yang lalu nenek moyang Sumba itu sudah bisa diketahui dari ras apa. Memang prosentase secara DNA ini belum kita dapat, tapi sedang kita kejar," tutur Retno.

"Yang sekarang sedang kita lakukan adalah secara morfologi. Ada ahli paleoantropologi yang mengamati, yang hampir semuanya itu punya ciri-ciri Mongoloid sekaligus juga ciri-ciri Austromelanesid," sambungnya.

Dalam laporan penelitiannya pun, Retno dan timnya menulis bahwa ketika observasi pada kerangka di situs Lambanapu, sebagian besar gigi rangka mempunyai tembilang ganda. Tak hanya itu, di bagian labial dapat diraba suatu cekungan.

Kedua hal tersebut merupakan tanda keturunan dari ras Mongoloid.

Selain itu, pada beberapa individu lain, hasil pengamatan Retno dan tim menunjukkan adanya alveolar prognatism atau tonjolan rahang yang membuat gigi tidak sejajar. Ciri ini biasanya dijumpai pada Deuteromalayid dan Protomalayid di Jawa.

Baca juga: Misteri Situs Gunung Padang di Jawa Barat Diungkap dalam Pertemuan AGU

Tim tersebut mengatakan bahwa diperkirakan ciri tersebut disebabkan karena percampuran ras Mongoloid dan Austromelanesid di area Indonesia. Pasalnya, kebanyakan ras Mongoloid di negara lain di Benua Asia tidak memiliki alveolar prognatism.

Alveolar prognatism ini juga menyebabkan bentuk wajah yang memanjang pada kerangka-kerangka tersebut, meski tengkorak dan wajah individu itu tidak utuh tulang-tulangnya.

Ciri wajah memanjang ini bahkan masih mudah kita temui pada orang Sumba zaman sekarang.

"Artinya bahwa sejak zaman dulu itu kita sudah ada percampuran ras. Tidak ada yang bisa mengklaim bahwa kita murni Mongoloid, kita murni pribumi, kita murni Austromelanesid," tegas Retno.

"Sejak 2.000 tahun yang lalu pun sudah terjadi percampuran ras itu, kawin-mawin lah, dan sebagainya," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com