KOMPAS.com – Pertumbuhan kesadaran publik akan isu lingkungan seperti perubahan iklim mendorong ilmuwan mengembangkan kendaraan pintar sekaligus ramah lingkungan.
Salah satu kendaraan yang digadang-gadang akan eksis pada masa depan adalah mobil dengan bahan bakar hidrogen.
Beda dengan kendaraan saat ini, mobil hidrogen tidak megemisikan karbon ke lingkungan dan lebih efisien.
Masalahnya, ilmuwan trauma dengan kendaraan berbahan bakar hidrogen karena sifat gas itu yang mudah terbakar jika tercampur dengan udara luar.
Tahun 1937 di Zeppelin Hindenburg, kendaraan udara berbasis hidrogen meledak akibat kebocoran, menewaskan 36 orang.
Ferry Nugroho, ilmuwan Indonesia yang kini meneliti di Chalmers Institute of Technology, Swedia, bersama timnya kini membuat terobosan baru.
Dia merancang teknologi sensor kebocoran hidrogen yang terbuat dari nanopartikel dengan material campuran paladium dan emas, yang kemudian dibalut dengan polimer.
Nanopartikel ini berperan sebagai sensor optik yang bekerja berdasarkan fenomena plasmon, yaitu terserapnya cahaya oleh nanopartikel logam.
Saat cahaya tertangkap logam, sensor nanopartikel akan berubah warna. Perubahan warna menunjukkan adanya perubahan konsentrasi hidrogen, menandai kebocoran.
Polimer plastik pembalut sendiri berfungsi melindungi nanopartikel dari molekul lain yang bisa mengintervensi kerja sensor.
Ferry mengatakan, sensor bekerja sangat efektif dan mampu mendeteksi 0,1 persen gas hidrogen di udara dalam waktu kurang dari satu detik.
Ferry juga menambahkan bahwa sensor ini sanggup mendeteksi hidrogen dalam kisaran konsentrasi 0,0003 persen hingga 100 persen.
Baca juga: Fakta Baru Kucing, Si Pus Ternyata Kenali Nama Pemberian Anda
"Sensor saya sendiri ini sekarang menjadi yang tercepat (dalam mendeteksi hidrogen)," kata Ferry saat dihubungi Kompas.com, Jumat (5/4/2019).
Sebelumnya, sensor optik untuk mendeteksi hidrogen umumnya menggunakan palladium sebagai bahan tunggal.
Namun palladium memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah respon yang relatif lambat, sensitifitas yang terbatas, serta mudah terkontaminasi gas karbon dioksida.
“Ternyata dengan campuran palladium dan emas, juga dibalut dengan polimer menghasilkan efek sinergis yang performanya jauh lebih baik dibanding palladium saja,” jelas Ferry.
Hidrogen merupakan gas yang relatif sulit untuk dideteksi. Selain mudah terbakar, hidrogen bersifat kasat mata, tidak berbau, serta mudah menguap.
“Dengan sensor ini, penggunaan hidrogen secara luas bisa lebih ditingkatkan tanpa harus takut akan segi keamanannya," ungkapnya.
Hidrogen merupakan kandidat bahan bakar yang sangat menjanjikan dari sisi lingkungan karena hanya menghasilkan air sebagai residunya.
Meski demikian, untuk saat ini, perkembangan mobil hidrogen masih berada di belakang mobil listrik.
Kendala utama selain dari segi keamanan adalah efisiensi energi serta masalah penyimpanan dan ketersediaan bahan bakar hidrogen itu sendiri.
Gas hidrogen dapat diproduksi melalui pemisahan molekul air via proses elektrolisis. Namun, untuk dapat menghasilkan gas hidrogen dalam skala masif, dibutuhkan listrik yang besar pula.
Rintangan lainnya terletak di keterbatasan infrastruktur serta biaya. Total pengeluaran dari mobil hidrogen masih jauh lebih besar dibandingkan mobil listrik untuk jarak tempuh sama.
Terobosan terbaru terkait bahan bakar hidrogen dari Ferry dan sejumlah ilmuwan boleh jadi bakal mendorong pengembangan kendaraan hidrogen lebih cepat.
Penelitian Ferry dan rekannya dipublikasikan di jurnal Nature Materials pada Senin (1/4/2019). Selain Ferry sebagai first author paper itu, peneliti Indonesia yang terlibat dalam riset ini adalah Irwan darmadi, dari institusi yang sama.
Baca juga: Habis Pijat, Kenapa Jari Tangan Bunyi Krek-Krek ketika Ditarik?
*Artikel dikoreksi pada Minggu (7/4/2019) untuk menambahkan ilmuwan Indonesia lain yang terlibat dalam riset ini.