Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Trenggiling Jadi Mamalia yang Paling Banyak Diperdagangkan di Dunia

Kompas.com - 19/02/2019, 20:06 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Editor

KOMPAS.com - Permintaan trenggiling selalu tinggi di Asia. Mulai dari sisiknya yang digunakan dalam pengobatan tradisional China, hingga dagingnya yang menjadi santapan mewah di Vietnam.

Di pusat rehabilitasi dekat Johanesburg, Afrika Selatan, sekelompok trenggiling sedang menjalani masa pemulihan.

Menurut Dr. Karin Lourens, dokter satwa liar, kondisi mereka sangat buruk saat pertama diselamatkan dari perdagangan ilegal.

"Mereka tidak diberi makan selama sekitar 17 hari," ujarnya.

Baca juga: Lawan Perburuan Trenggiling, Ahli Bikin Video Kehidupan Malamnya

"Mereka dikurung di dalam tas, atau drum, atau kantong, dan dibiarkan begitu saja. Waktu kami terima mereka, mereka kurus kering, mengalami dehidrasi, dan segera membutuhkan perhatian medis," imbuh Dr Lourens.

Sisik trenggiling – terbuat dari keratin, yang juga ditemukan di kuku manusia – banyak diminati untuk pengobatan tradisional China.

Konon sisik tersebut bisa menyebuhkan radang sendi, meningkatkan produksi ASI, dan menjadi obat kuat untuk laki-laki. Namun, sebenarnya, tidak ada riset ilmiah yang mendukung kepercayaan ini.

"(Sisik trenggiling) jadi bagian dari budaya mereka dan digunakan dalam lebih dari 60 produk herbal China sebagai obat," kata Prof. Ray Jansen dari African Pangolin Working Group.

Kelompok tersebut mencatat ada 19 ribu ton sisik trenggiling yang diperdagangkan secara ilegal dari Afrika pada tahun 2016; 47 ribu ton pada tahun 2017; dan 39 ribu ton pada tahun 2018.

"Ini hanya perdangangan yang berhasil kami gagalkan, hanya sekitar 10 persen dari keseluruhan perdangangan," tambah Prof. Ray.

"Totalnya mendekati 390 ribu ton sisik tahun lalu," imbuhnya.

Menurut organisasi Traffic, perdagangan internasional ilegal trenggiling semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Indonesia masuk dalam 10 negara teratas yang terlibat dalam perdagangan tersebut. Akibatnya, Indonesia kehilangan hingga 10 ribu ekor trenggiling setiap tahunnya, termasuk Trenggiling Sunda (Manis javanica) yang terancam punah.

"Ini merupakan peringatan bahwa satwa Indonesia diburu dalam skala komersial untuk memenuhi permintaan global perdagangan ilegal," kata Kanitha Krishnasamy, Direktur Traffic Asia Tenggara.

Baca juga: Kisah Elisa Panjang Selamatkan Trenggiling Sunda yang Terancam Punah

Dari tahun 2011-2015, ada 111 kasus penyitaan trenggiling di Indonesia, dengan lebih dari 35 ribu ekor trenggiling yang disita, menurut Traffic.

Sementara beberapa pekan lalu, polisi Sabah, Malaysia menyita 61 trenggiling hidup, 361 kilogram sisik, dan 1.800 boks berisikan trenggiling beku.

Di China, harga sisik trenggiling meningkat dari 11 dollar AS (setara 155 ribu rupiah dengan kurs saat ini) per kilogram pada tahun 1990an menjadi 470 dollar AS (6,6 juta rupiah) pada tahun 2014, menurut riset Beijing Forestry University.

Awal bulan ini, bea cukai Hong Kong menyita 8,3 ton sisik trenggiling dan ratusan gading gajah senilai total 8 juta dollar AS (113 miliar rupiah), menekankan banyaknya hewan langka di Asia yang terancam perdagangan ilegal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau