DEBAT putaran kedua Pemilihan Presiden 2019 menyisakan tanya, ke mana isu perubahan iklim? Karena, faktanya akan sulit membicarakan rencana pembangunan lima tahun ke depan di sektor infrastruktur, energi, pangan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup tanpa mengaitkannya dengan perubahan iklim.
Akibatnya, tidak muncul rencana besar pengembangan teknologi pertanian, rekayasa lahan untuk beradaptasi dengan peningkatan suhu dan perubahan cuaca agar produktivitas sektor pangan tetap terjaga. Publik justru dihadapkan pada alasan kenapa negara impor pangan.
Tidak ada juga pemaparan rencana kedua calon presiden dalam mengatasi ancaman kerusakan terumbu karang dan sebagian wilayah pesisir akibat dari kenaikan suhu air laut yang mengancam keberadaan ikan konsumsi.
Publik juga tidak melihat rencana pembangunan infrastruktur yang mengantisipasi dampak perubahan iklim, seperti persoalan banjir rob akibat dari kenaikan muka air laut, yang saat ini melanda sebagian wilayah di pesisir utara pulau jawa dan wilayah lain di Indonesia.
Demikian juga di sektor lingkungan hidup dan sumber daya alam. Eksploitasi hutan dan tambang yang dinarasikan sepenuhnya untuk kepentingan ekonomi, tidak ada sedikit pun kaitannya dengan dampak signifikan terhadap proses pemanasan global. Sementara dampak lingkungannya, kedua calon presiden menganggap dapat diselesaikan secara instan.
Headline Harian Kompas (12/2/2019) menyebut peningkatan suhu dunia sebagai dampak dari perubahan iklim semakin di rasa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Bahkan, peningkatan suhu di Indonesia saat ini sudah lebih tinggi dibandingkan rata-rata global.
Salah satu penyebab dari pemanasan global adalah produksi emisi karbon yang dihasilkan dari penggunaan energi fosil.
Ironisnya, saat ini fosil masih menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia. Data Kementerian ESDM menyebut hingga tahun 2017, batu bara memegang mayoritas bahan baku untuk membuat listrik di Indonesia dengan persentase 57 persen, disusul gas dan minyak bumi.
Sementara penggunan energi ramah lingkungan baru sekitar 12,15 persen, padahal potensi energi baru terbarukan (EBT) yang bersumber dari panas bumi, air, bioenergi, angin, surya, dan laut diperkirakan sekitar 441,7 GigaWatt. Jumlah tersebut diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan total energi Indonesia, dari mulai transportasi, industri hingga listrik.
Dengan potensi besar, target penggunaan EBT tahun 2030 hanya sekitar 30 persen. Padahal kebutuhan energi listrik akan meningkat tajam seiring dengan pengembangan industri 4.0 yang mengedepankan konektivitas internet antarwilayah di Indonesia.
Pada sisi lain, eksploitasi energi fosil juga merusak hutan dan lahan. Jika mengacu pada debat capres, baik capres 01 maupun 02 masih memandang keberadaan hutan dan lahan hanya sebatas kepentingan ekonomi, belum sama sekali memikirkan dampak ekologi.
Keberadaan lahan gambut yang mampu menyerap dan menyimpan emisi karbon yang sangat besar belum dimaknai sepenuhnya sebagai aset negara untuk menahan laju perubahan iklim.
Kebakaran dan persoalan alih fungsi lahan gambut melalui izin konsesi yang dilakukan sejak dulu belum sepenuhnya dibenahi.
Perubahan iklim juga berdampak pada sektor pangan dan perekonomian warga. Penelitian Kemitraan (2017) di 4 wilayah, intrusi air laut telah menyebabkan 30 persen dari total sawah di Kota Pekalongan tidak lagi produktif.
Puluhan hektar tambak dan perkebunan tidak lagi dapat menjadi sumber mata pencaharian, serta ribuan warga terancam penyakit dan kesulitan mengakses air bersih sebagai dampak dari banjir rob yang menggenangi rumah di 7 kelurahan.
Kemitraan juga menemukan isu perubahan iklim belum dipahami secara luas baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakatnya. Akibatnya, belum ada program adaptasi meski dampak perubahan iklim sudah dirasakan.
Pada tahun 2017, The Global Shapers Survey mengeluarkan hasil kajian yang melibatkan 25.000 anak muda di 186 negara di dunia. Isu perubahan iklim dan dampaknya menurut mereka menjadi persoalan utama yang harus diselesaikan.
Gerakan penyadaran terhadap isu perubahan iklim di kalangan anak muda dunia semakin meluas, bahkan secara khusus pertemuan negara-negara yang tergabung dalam konferensi antarpihak (conference of the parties/COP) di Katowice, Polandia, secara khusus melibatkan perwakilan anak muda dari seluruh dunia.
Pun dengan anak muda di Indonesia, seperti yang saat ini dilakukan oleh lebih dari 33 komunitas di Kota Pekalongan yang tergabung dalam gerakan Save Pekalongan.
Mereka aktif mendorong pemerintah, khususnya provinsi dan kota untuk menanggulangi permasalahan banjir rob, sekaligus membangun konsolidasi, menggalang dukungan dan membuka pemahaman kepada masyarakat akan bahaya dampak perubahan iklim. Salah satu caranya lewat film dokumenter dengan judul "Pekalongan 34 Cm" dan "Ada Juang di Tanah Tergenang".
Gerakan serupa juga banyak dilakukan, seperti Earth Hours, car free day, bike to work, komunitas pengguna pembangkit listrik tenaga surya atap, tenaga mikro hidro yang semakin meluas di kota-kota besar dan menjadi gaya hidup anak muda.
Data yang dilansir oleh Golongan Hutan (#Golhut) menyebut tingkat kesadaran publik terhadap isu lingkungan meningkat tajam selama dua tahun terakhir.
Berdasarkan data Change.org, terjadi peningkatan orang yang terlibat dalam petisi seputar isu lingkungan hidup, dari 118.000 orang pada 2017 menjadi 2,1 juta orang lebih pada tahun 2018.
Melihat debat capres, Minggu (17/2/2019), saatnya anak muda Indonesia lebih aktif menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan isu perubahan iklim agar menjadi prioritas dalam pembangunan Indonesia lima tahun ke depan, siapa pun yang terpilih nantinya.
Dengan jumlah suara mencapai sekitar 84 juta, anak muda dapat menjadi penentu siapa yang akan terpilih untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan, sekaligus penentu negara akan memperhatikan isu perubahan iklim atau justru sebaliknya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.