KOMPAS.com — Kabar baik datang dari Titi Wati, penderita obesitas yang memiliki berat badan hingga ratusan kilogram.
Sepekan lalu, Titi menjalani operasi bariatrik atau pengecilan lambung dan kini sudah diperbolehkan pulang ke rumahnya.
Namun, salah satu yang membuat penasaran dari kasus Titi ini adalah operasi bariatrik itu sendiri. Apa sebenarnya operasi bariatrik dan seberapa efektif untuk mengatasi obesitas?
Dokter spesialis penyakit dalam Dante S Herbuwono menjelaskan, ada tiga metode pembedahan bariatrik. Ketiganya yaitu, laparoscopic gastric bypass, laparoscopic sleeve gastrectomy, dan laparoscopic adjustable gastric band.
Baca juga: Lawan Diabetes, Para Ilmuwan Kembangkan Bedah Bariatrik Berbentuk Pil
"Bedah ini untuk membuat penyerapan makanan enggak terlalu banyak. Ada yang dipotong sebagian lambungnya sehingga lambung lebih kecil. Jadi gampang kenyang. Ada juga yang diiket lambungnya," ujar Dante dalam diskusi di Jakarta, Jumat (19/12/2014).
Operasi ini digunakan untuk orang-orang yang mengalami obesitas atau kelebihan berat badan.
Keefektifan dan Risiko
Dante menyebut bahwa prosedur medis ini cukup efektif untuk mengontrol berat badan seseorang.
"Hasilnya signifikan untuk mengontrol gula darahnya, terutama kontrol berat badan. Rata-rata berat badan akan turun dengan cepat," kata Dante.
Dante mencontohkan, seorang pasiennya bisa menurunkan berat badan 18 kilogram dalam waktu tiga bulan. Gula darahnya pun menjadi normal.
Meski begitu, prosedur tersebut memiliki risiko yang harus dipertimbangkan. Operasi ini membuat pasien berisiko mengalami malnutrisi, khususnya vitamin A, D, E, dan K yang larut dalam lemak.
"Minimnya usus yang bisa menyerap mengakibatkan vitamin yang biasanya larut dalam lemak akan mengalami defisiensi. Dia juga akan mengalami defisiensi kalsium dan asam folat, maka harus ada tambahan vitamin,” terang Dante.
Untuk mengatasi ini, Dante menegaskan, ada pola makan khusus untuk pasien yang telah menjalani pembedahan bariatrik.
Hal ini juga terlihat dalam kasus Titi. Lima hari pasca-operasi, Titi tak diperbolehkan makan nasi.
Baca juga: Hamil Setelah Operasi Bariatrik Berisiko Lahirkan Bayi Prematur
Sebagai gantinya, pelengkap kalori didapatkan Titi dari susu khusus. Selain itu, dia juga diberikan makanan ringan lain untuk menjaga kalori dalam tubuh tetap terpenuhi.
Tak Disarankan pada Anak
Meski cukup efektif untuk menurunkan berat badan secara cepat, prosedur ini tidak disarankan dilakukan pada anak-anak.
Hal itu disampaikan oleh dokter ahli bedah dari Pusat Operasi Bariatric dan Metabolik Asia-Pasifik di Rumah Sakit Jinshazhou, Guangzhou, China, Wu Liang Ping. Wu beralasan, anak-anak masih dalam masa pertumbuhan.
"Dianjurkannya pada usia 16 tahun ke atas," ujar Wu.
Akan tetapi, pada kasus tertentu, operasi bisa dilakukan terhadap anak usia di bawah 16 tahun. Salah satu contoh yang bisa kita kenal adalah Arya Permana, anak yang berbobot 192 kilogram.
Arya melakukan operasi Bariatrik di RS Onmi Alam Sutera, Tangerang. Langkah itu diambil karena saat bobotnya 192 kg, Arya nyaris tak bisa beraktivitas.
Operasi bypass yang dilakukan pada anak sama halnya dengan orang dewasa, yaitu mengecilkan ukuran lambung sehingga porsi makan jadi lebih sedikit.
Dalam Bentuk Pil
Operasi baritarik memang dikenal bisa mengatasi obesitas. Tapi, bagaimana jika seseorang takut dengan prosedur invasif semacam itu?
Tahun lalu, para peneliti di Harvard Medical School telah menciptakan pil yang memiliki efek serupa dengan bedah bariatrik.
Baca juga: Bedah Bariatrik, Turunkan Berat Badan dan Kendalikan Diabetes
Obat tersebut berbasis sulcralfate yang disebut Luminal Coating of the Intestine atau LuCI. Nantinya, obat ini melapisi usus kecil sehingga gula dan nutrisi lain dari makanan tidak terserap oleh tubuh.
Hasil uji coba pada tikus yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Materials menunjukkan bahwa dalam satu jam setelah dimakan, respons tikus terhadap gula darah setelah makan turun 47 persen.
"Apa yang kita ciptakan ini pada intinya adalah 'Operasi dalam bentuk pil'. Kita menggunakan pendekatan bioteknologi untuk menformulasikan pil yang memiliki sifat adhesi yang baik dan bisa menempel pada usus model praklinis," ujar salah satu pemimpin studi Yuhan Lee, seperti dilansir dari Futurism, Selasa (12/6/2018).
"Setelah beberapa jam, efeknya menghilang," ujarnya lagi.
Meskipun hasil uji coba kali ini sangat memuaskan, para peneliti berkata bahwa obat ini belum siap untuk dijual dan dikonsumsi manusia.
LuCI harus menjalani berbagai uji coba terlebih dahulu, termasuk pada tikus-tikus yang obesitas dan memiliki diabetes untuk diketahui efektifitasnya, sebelum diujikan pada manusia.
Namun, bila semua berjalan lancar, bisa jadi LuCI akan menjadi solusi non-bedah yang efektif bagi orang-orang dengan obesitas dan diabetes tipe 2.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.