Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Toleransi yang Sebenarnya di Indonesia Bukan Hal Mustahil

Kompas.com - 20/12/2018, 14:04 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Indonesia dengan keragaman suku, etnis, dan agama menuntut adanya toleransi dalam kehidupan masyarakatnya. Sayangnya, beberapa waktu belakangan kabar yang berkembang justru menunjukkan adanya intoleransi di Indonesia.

Fenomena ini kemudian membuat kita bertanya-tanya, apa sebenarnya makna toleransi. Untuk menjawab ini, Kompas.com mencari jawaban dari Jony Eko Yulianto, seorang psikolog sosial yang fokus pada masalah intoleransi.

Toleransi Adalah...

Menurut Jony, banyak masyarakat awam yang menganggap toleransi hanya sekedar masalah menghargai perbedaan yang dimiliki oleh kelompok lain.

"Tetapi riset terkini dari Maykel Verkuyten dan Kumar Yogeeswaran (2017) di Personality and Social Psychology Review memberikan insight menarik bahwa toleransi adalah hal yang kompleks," ungkap dosen psikologi sosial di Universitas Ciputra Surabaya.

Baca juga: Ahli Psikologi Ungkap Makna Toleransi yang Sebenarnya

"Menurut Verkuyten dan Yogeeswaran, toleransi itu meliputi tiga komponen," imbuhnya.

Ketiga komponen tersebut adalah objection, acceptance, dan rejection. Jony kemudian menjelaskan maksud dari ketiga komponen ini.

"Objection, yakni tentang afeksi kita terhadap kelompok lain," kata Jony.

"Maksudnya, sejauhmana kita suka atau tidak suka dengan apa yang kelompok lain lakukan," sambungnya.

Dengan kata lain, objection di sini adalah toleransi pada level afektif atau sikap.

Sedangkan untuk menunjukkan acceptance atau penerimaan, Jony menjelaskan bahwa hal tersebut berkaitan dengan reaksi psikologis manusia dalam mempertimbangkan keberadaan kelompok lain.

"Misalnya, ketika kita bersikap, apakah kita menganggap kelompok lain yang berbeda value itu kita anggap ada (exist) atau tidak," kata Jony melalui pesan singkat.

"Singkat kata, acceptance itu toleransi di level proses psikologis," tegasnya.

Komponen ketiga yaitu rejection atau penolakan. Jony menjelaskan komponen ini berkaitan dengan perilaku manusia untuk menanggapi ketidaksetujuan atau perbedaan pandangan yang ada.

"(Perilaku yang ditampilkan) apakah sampai diskriminasi atau tetap inklusif," ucapnya.

"Singkatnya, rejection itu bicara toleransi di level perilaku," tambah Jony.

Baca juga: Toleransi yang Sebenarnya, Bisakah Terjadi di Indonesia?

Intoleransi Jadi Wajar

Tapi kasus-kasus tersebut kemudian membuat kita bertanya, apakah toleransi bisa dicapai di Indonesia?

Jony menyebut toleransi di Indonesia masih bisa diupayakan. Tekait dengan kasus-kasus intoleransi saat ini, dia mengatakan ada sebuah fenomena yang sedang terjadi di Indonesia terkait toleransi.

"Saya setuju dengan tulisan Dr. Sandra Hamid dari Centre for Indonesian Law, Islam, and Society di the University of Melbourne. Indonesia sekarang sedang mengalami normalisasi intoleransi," ungkap psikolog sosial yang memfokuskan diri pada masalah intoleransi itu.

Jony mencontohkan pada kasus di mana agama dibenturkan dengan politik praktis dan dipergunakan untuk memobilisasi massa untuk meraih dukungan politik.

"Akibatnya, ada standar ganda dalam menunjukkan perilaku-perilaku sosial," kata Jony.

"Definisi toleran menjadi kabur, definisi menista agama juga kabur," tegasnya.

Meski begitu, seperti dijelaskan di atas, Jony secara pribadi mengatakan bahwa toleransi masih bisa diupayakan. Dia membandingkan kondisi Indonesia saat ini mirip dengan apa yang pernah terjadi di negara-negara lain.

"Di masa lalu, banyak negara yang mengalami situasi lebih parah daripada kita, seperti Rwanda dan negara-negara Balkan. Tetapi mereka bisa melaluinya dengan baik," tutur Jony.

"Di masa lalu, kita pernah punya pengalaman keberhasilan dalam menangani intoleransi pada kasus Poso dan Ambon," lanjutnya.

"Saya optimis kita masih bisa berbenah," kata Jony lagi.

Baca juga: Merangkai Toleransi Indonesia, Ahli Usulkan 2 Cara

Merangkai Toleransi Kembali

Jony menawarkan dua ide untuk merangkai kembali toleransi.

1. Kegiatan Lintas Kelompok

"Pertama adalah mengupayakan adanya kegiatan-kegiatan bersama lintas kelompok. Bisa lintas agama, bisa lintas suku, bisa lintas partai politik, atau apapun," ujar Jonny saat dihubungi Kompas.com, Rabu (19/12/2018).

"Yang terpenting adalah membuat kegiatan bersama yang memungkinkan dua kelompok yang berbeda dapat duduk bersama atau terlibat dalam sebuah kegiatan dengan goal yang lebih besar daripada kepentingan kelompok," tegasnya.

Kegiatan semacam itu, menurut Jony bertujuan untuk membuat kategori sosial baru.

"Kategori sosial yang baru akan membuat kita menghilangkan bias favoritisme terhadap kelompok sendiri dan derogasi (menganggap buruk atau salah) terhadap kelompok lain," kata Jony.

Dia juga menekankan bahwa idenya ini bukanlah hal yang baru. Indonesia pernah menggunakan cara ini dalam Kongres Sumpah Pemuda.

"Kita pernah berhasil membentuk rekategorisasi sosial dengan Sumpah Pemuda 1928. Jon Java, Jong Sumatera, dll, dikumpulkan menjadi satu untuk punya gagasan baru tentang kebangsaan," tutur Jony.

"Akhirnya, ethnocentrisme (rasa suka terhadap suku sendiri) berubah menjadi nasionalisme," tegasnya.

Baca juga: Tak Ada Toleransi bagi Produsen Rokok yang Belum Cantumkan Gambar Seram

2. Kisahkan Keharmonisan

Cara kedua yang ditawarkan oleh Jony yaitu dengan peran media. Dia menekankan pentingnya mem-blow up berita tentang relasi dua kelompok yang harmonis.

"Misalnya perkawinan antar-etnis yang harmonis, kerjasama antar-dua agama dalam memecahkan masalah sosial, dan lain-lain," ucap Jony.

"Hal ini juga dilakukan oleh Amerika Serikat saat memecahkan masalah intoleransi kulit hitam dan kulit putih," imbuhnya.

Relasi persahabatan semacam ini akan memicu toleransi terbentuk. Itu karena bersahabat dengan kelompok lain, kita akan menjadi objektif.

Ketika berbicara hal ini, Jony mengingatkan bahwa elemen obyektivitas penting karena mencerminkan toleransi dalam sikap kita. Dengan obyektivitas, kita bisa menilai sejauh mana rasa suka atau tidak suka pada apa yang dilakukan kelompok lain.

"Kita akan tahu bahwa kelompok lain itu tidak seburuk yang kita pikirkan. Kita juga sadar bahwa kelompok kita sendiri tidak sebaik yang kita pikirkan," kata Jony.

"Baik dan buruk akan sangat seimbang. Ini sejalan dengan Contact Hypothesis dari Professor Psikologi Sosial dari Harvard, Gordon Allport," tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com