Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Penghasil CO2 Terbesar yang Sering Tak Kita Sadari

Kompas.com - 18/12/2018, 18:51 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Editor

KOMPAS.com — Semen adalah material buatan manusia yang paling banyak digunakan. Kedua terbanyak setelah air sebagai sumber daya yang paling banyak dikonsumsi di planet ini.

Meskipun semen—bahan utama dalam beton—telah membentuk banyak lingkungan kita, material itu juga memiliki jejak karbon yang sangat besar.

Semen adalah sumber dari sekitar 8 persen emisi karbon dioksida (CO2) dunia, menurut lembaga penelitian Chatham House.

Jika industri semen adalah sebuah negara, dia akan menjadi penghasil emisi terbesar ketiga di dunia—di belakang China dan AS. Dia menghasilkan CO2 lebih banyak daripada bahan bakar pesawat udara (2,5 persen) dan tidak jauh di belakang industri agrikultur global (12 persen).

Para pemimpin industri semen berada di Polandia untuk menghadiri konferensi perubahan iklim PBB—COP24—untuk membahas cara-cara memenuhi persyaratan Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Untuk melakukan ini, emisi tahunan dari semen harus turun setidaknya 16 persen pada tahun 2030.

Baca juga: Ditemukan, Bakteri Laut di Samudra Pasifik yang Mengonsumsi CO2

Jadi, bagaimana cinta kita pada beton akhirnya membahayakan planet ini? Dan apa yang bisa kita lakukan?

Pentingnya Beton

Beton telah bertahun-tahun menjadi bahan utama dari kebanyakan bangunan tinggi, tempat parkir mobil, jembatan dan bendungan. Bahan ini telah membantu pembangunan beberapa bangunan dengan arsitektur terburuk di dunia.

Meski demikian, beton juga menjadi alasan mengapa beberapa bangunan paling mengesankan di dunia berdiri.

Sydney Opera House, Kuil Teratai di Delhi, Burj Khalifa di Dubai serta Pantheon yang megah di Roma—yang memiliki kubah beton terbesar yang tidak menggunakan fondasi di dunia—semuanya berutang pada material ini.

Campuran pasir dan kerikil, pengikat semen dan air, beton dipakai begitu banyak oleh para arsitek, pengembang, dan kontraktor karena merupakan bahan konstruksi yang sangat baik.

"Terjangkau, Anda dapat memproduksinya hampir di mana saja dan memiliki semua kualitas struktural yang tepat jika Anda ingin membangun yang tahan lama atau untuk infrastruktur," jelas Felix Preston, wakil direktur penelitian di Departemen Energi, Lingkungan dan Sumber Daya di Chatham House.

"Membangun tanpa beton, meskipun memungkinkan, penuh tantangan," kata Preston.

Pertumbuhan Industri Semen

Atribut beton yang tak tertandingi ini membantu produksi semen global meningkat tajam sejak 1950-an, dengan Asia dan Cina menyumbang sebagian besar pertumbuhan dari tahun 1990-an dan seterusnya.

Produksi telah meningkat lebih dari tiga puluh kali lipat sejak tahun 1950 dan hampir empat kali lipat sejak 1990. China menggunakan lebih banyak semen dari tahun 2011 hingga 2013 daripada yang dilakukan AS sepanjang abad ke-20.

Baca juga: Bikin Sayembara Konversi CO2, NASA Tawarkan Hadiah 11,2 Miliar

Luas lantai bangunan di seluruh dunia diproyeksikan akan berlipat ganda dalam 40 tahun ke depan, kata para peneliti di Chatham House. Artinya, fenomena ini mengharuskan produksi semen meningkat hingga seperempat pada tahun 2030.

Namun, terlepas dari keberadaannya di mana-mana, kredibilitas beton dari sisi lingkungan telah mendapat sorotan yang meningkat dalam beberapa dekade terakhir.

Produksi semen yang melibatkan penggalian tidak hanya menyebabkan polusi udara dalam bentuk debu, tapi juga membutuhkan penggunaan kiln besar. Dengan kata lain itu membutuhkan energi dalam jumlah besar.

Proses kimia dari pembuatan semen juga memancarkan tingkat CO2 yang sangat tinggi.

Sektor ini telah membuat kemajuan, adanya perbaikan dalam efisiensi energi dari pabrik baru dan pembakaran bahan limbah sebagai pengganti bahan bakar fosil telah membuat emisi CO2 rata-rata per ton output turun sebesar 18 persen selama beberapa dekade terakhir, menurut Chatham House.

Tindakan Nyata

Asosiasi Semen dan Beton Global (Global Cement and Concrete Association, GCCA) yang baru didirikan, saat ini mewakili sekitar 35 persen dari kapasitas produksi semen dunia dan fokus pada pembangunan berkelanjutan, hadir dalam COP24.

Chief executive Benjamin Sporton mengatakan fakta bahwa organisasi itu sekarang hadir "adalah demonstrasi dari komitmen industri untuk isu keberlanjutan, termasuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim".

GCCA akan menerbitkan serangkaian panduan keberlanjutan, yang harus diikuti oleh anggotanya.

Baca juga: Sedot CO2 dari Atmosfer, Apakah Ngarai Bawah Air Ini Solusi Kita?

"Dengan menyatukan para pemain global untuk memberikan kepemimpinan dan fokus, serta memberikan program kerja yang terperinci, kami dapat membantu memastikan masa depan yang berkelanjutan untuk semen dan beton, dan untuk kebutuhan generasi mendatang," kata Sporton.

Meskipun janji itu dibuat, Chatham House berpendapat bahwa industri ini mencapai batasan akan apa yang bisa dilakukan dengan langkah-langkah saat ini.

Jika sektor ini memiliki harapan untuk memenuhi komitmennya pada Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim, maka perlu untuk merombak proses pembuatan semen itu sendiri. Dengan kata lain, tidak hanya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.

'Klinker' adalah pencemar besar

Proses pembuatan "klinker" - konstituen utama semen - lah yang mengeluarkan CO2 terbesar dalam pembuatan semen.

Pada tahun 2016, produksi semen dunia menghasilkan sekitar 2,2 miliar ton CO2 atau setara dengan 8 persen dari total global. Lebih dari setengahnya berasal dari proses kalsinasi.

Bersama dengan pembakaran termal, 90 persen dari emisi sektor ini dapat dikaitkan dengan produksi klinker.

Karena itu, Preston dan rekan-rekannya berpendapat sektor ini butuh sejumlah strategi pengurangan CO2 secara mendesak.

Langkah menjauh dari bahan bakar fosil dan menuju penangkapan dan penyimpanan karbon akan membantu, tetapi tidak cukup.

"Butuh jalan panjang untuk menutup celah itu," kata Preston.

Baca juga: Studi Baru, Peningkatan CO2 Ancam Masa Depan Terumbu Karang

Apa yang benar-benar perlu dilakukan industri adalah upaya memproduksi semen jenis baru, paparnya.

Bahkan, semen rendah karbon dan "semen baru" dapat menyingkirkan kebutuhan klinker sama sekali.

Semen Hijau

Salah satu di antara mereka yang berusaha mendapatkan dukungan lebih besar untuk semen alternatif adalah Ginger Krieg Dosier, salah satu pendiri dan CEO BioMason - start-up di North Carolina yang menggunakan triliunan bakteri untuk menumbuhkan batu bata bio-beton.

Tekniknya, yang menempatkan pasir di dalam cetakan dan menyuntikkannya dengan mikroorganisme, menggunakan proses yang serupa dengan terciptanya karang.

"Saya sudah lama memiliki kekaguman dengan semen dan struktur laut," jelas Krieg Dosier.

Penemuan itu membuatnya menciptakan solusi sendiri. Ini dibuat pada suhu kamar, tanpa perlu bahan bakar fosil atau kalsinasi - dua sumber utama dari emisi CO2 industri semen.

Krieg Dosier percaya bahwa semen hijau dan teknologi seperti miliknya menawarkan solusi untuk masalah emisi sektor ini.

'Disrupsi industri'

Selain semen alternatif, kekuatan "disrupsi" lain juga mulai mendorong perubahan. Digitalisasi, pemelajaran mesin dan peningkatan kesadaran akan keberlanjutan semuanya berdampak pada budaya industri semen.

"Sebagian berubah karena bagaimana orang ingin hidup, tetapi juga karena kemampuan kita untuk memimpikan struktur baru dan inovatif dan menguji mereka dengan model komputer," kata Preston.

Baca juga: Misteri Mars Bertambah, Bagaimana Bisa Punya Air jika CO2-nya Minim?

"Ada juga kemampuan untuk membangun sesuatu yang lebih murah dengan robot - dengan otomatisasi."

Tetapi merubah proses untuk dengan cepat memenuhi kewajiban industri semen akan menjadi tantangan.

Sektor ini didominasi oleh sejumlah kecil produsen utama yang enggan bereksperimen atau mengubah model bisnis. Arsitek, insinyur, kontraktor dan klien juga, dapat dengan mudah dimengerti, berhati-hati dalam menggunakan bahan bangunan baru.

"Sektor yang bergerak sangat lamban dan sulit berubah ini mulai berhadapan dengan disrupsi yang sangat besar yang mulai kita lihat di pembangunan," kata Preston.

Namun, dengan semen rendah karbon sangat sedikit mencapai komersialisasi, dan tidak ada yang diterapkan dalam skala industri di mana bangunan lebih besar dan lebih tinggi sering menjadi ambisi, tampaknya dukungan berkelanjutan dari pemerintah akan dibutuhkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com