Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Krisis Alam Liar, Kitalah Penyebabnya dan Solusinya

Kompas.com - 17/11/2018, 18:06 WIB
Bhakti Satrio Wicaksono,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Manusia adalah bagian dari alam. Sejatinya, manusia perlu turut serta menjaga kelestarian alam. Sayangnya, fakta yang terjadi tidak demikian.

Menurut Living Planet Report 2018 yang dirilis oleh WWF, secara global telah terjadi penurunan dalam jumlah populasi mamalia, burung, ikan, reptil, dan amfibi sebesar 60 persen dalam 40 tahun terakhir.

Faktor utama yang menyebabkan ini terjadi adalah pola konsumtif manusia yang menguras kelestarian alam.

Sampai saat ini, pemanfaatan alam, menurut Thomas Barano, seorang Conservation Scientist dari WWF Indonesia, masih tidak ramah. Dampak yang secara dekat dapat dilihat adalah kondisi sungai di Jakarta yang hanya dapat ditinggali oleh ikan-ikan yang toleran terhadap polusi, seperti sapu-sapu.

Baca juga: Kabar Buruk, Hanya Tersisa 23 Persen Alam Liar di Muka Bumi Ini

Begitu pun hutan di Indonesia. Data satelit tahun 2017 menunjukkan bahwa hutan di Indonesia berada pada kondisi kritis. Di Sumatera, hanya 28 persen hutan alam yang tersisa, Kalimantan hanya tersisa 54 persen hutan. Sebaliknya, hanya Papua yang selama ini stabil hutannya, yaitu 83 persen.

"Hanya sebagian kecil wilayah hutan alami yang kita miliki. Ada PR besar untuk kita, karena masing-masing pulau di Indonesia punya kemampuan terbatas untuk pemanfaatannya," ujar Thomas saat ditemui pada kegiatan perilisan Living Planet Report, Jumat (16/11/2018) di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Contoh yang dapat dilihat adalah peralihan fungsi hutan menjadi lahan kelapa sawit. Menurut Lukas Adhyakso, Direktur Konservasi WWF Indonesia, pemanfaatan lahan untuk kelapa sawit terbilang berlebihan.

“Kalau kita bisa memanfaatkan teknologi untuk membuat kelapa sawit lebih produktif, kita akan dapat mengurangi perluasan. Jadi bagaimana dengan lahan yang sudah ada untuk produksi kelapa sawit menjadi lebih banyak. Bukan menambah pembukaan hutan yang baru, dan masih banyak contoh lain,” ujar Lukas saat ditemui pada kesempatan yang sama.

Baca juga: Burung Biru Cantik dalam Film Rio Diyakini Ahli Punah di Alam Liar

Solusinya adalah kita sendiri

Thomas memandang, untuk lepas dari kebiasaan ini, ada tiga kelompok besar yang perlu digerakkan, yaitu individu, bisnis, dan kebijakan pemerintah.

Para individu diharapkan dapat bersuara sebagai warga negara dan konsumen untuk menempatkan posisi kelestarian alam di atas kepentingan politik dan bisnis.

Begitu pun dengan konteks bisnis yang seharusnya mengakui secara terbuka bahwa alam berperan dalam menopang kemakmuran ekonomi dan pembangunan sosial. Bisnis juga diharapkan dapat mengambil tindakan untuk mengurangi dampak kegiatannya terhadap alam, serta melindungi dan memulihkan habitat dan ekosistem.

Pada konteks politik, diharapkan dapat menempatkan kepentingan alam di atas tujuan politik dan menciptakan regulasi atau kebijakan yang mendukung kelestarian alam.

Pelestarian lingkungan perlu menjadi perhatian serius banyak pihak. Dengan meneruskan pola yang seperti ini dipastikan kebutuhan manusia dari alam tidak akan terpenuhi untuk generasi mendatang.

“Kunci dari kelestarian adalah moderasi perlu dan cukup. Kalau sudah cukup kita tidak perlu mengeksploitasi secara lebih. Ini berguna untuk pertama, melestarikan warisan, kedua adalah memastikan bahwa ekosistem memberikan apa yang kita butuhkan, dan ketiga, kalau sudah limit (mencapai batas), gunakan seperlunya jangan dieksploitasi terus,” tutup Lukas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com