Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Timothy Marbun
News Anchor

News Anchor & Executive Producer Kompas TV

10 Menit Bersama Luhut: Musuh Bersama Kita adalah Sampah Plastik

Kompas.com - 31/10/2018, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


BARU saja Nusa Dua ditinggalkan oleh puluhan ribu peserta pertemuan IMF-Bank Dunia yang tercatat sukses (dan diklaim lebih murah).

Masih di bulan yang sama, gedung BNDCC dan BICC Nusa Dua sudah kembali menjamu tamu manca negara untuk perhelatan Our Ocean Conference (OOC) 2018. Konferensi tahunan internasional yang fokus pada komitmen bersama untuk bertindak untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan perairan dunia.

Kemenko Kemaritiman tentu menjadi yang paling berkepentingan untuk apa pun seputar lautan dan menjadi tuan rumah dari konferensi 3 hari ini.

Para pemikir, aktivis, dan peneliti terkemuka dunia dalam bidang kemaritiman bergabung dengan pemerintah negara-negara, dan perusahaan-perusahaan yang peduli dengan laut, untuk mencari solusi bersama mengatasi permasalahan laut dunia, dan mengubahnya menjadi peluang.

Hanya 10 menit waktu yang saya miliki untuk berbicara dengan sang tuan rumah, Luhut Binsar Panjaitan.

Baca juga: Menteri Susi: Sudah Ada 633 Komitmen Ditanda Tangani di OOC 2018

Tapi, 10 menit itu sudah cukup memberi saya gambaran tentang apa yang sudah berhasil, dan apa yang masih belum memuaskan dari upaya Indonesia, sebagai salah satu negara produsen sampah lautan terbesar di dunia, untuk menurunkan peringkatnya yang bisa dikatakan memalukan ini.

Tanpa duduk, Luhut langsung menjawab pertanyaan saya tentang komitmen Presiden Jokowi untuk menurunkan volume sampah plastik Indonesia higga 70 persen, sebuah target yang mungkin bagi sebagian pihak terdengar mustahil.

“Angka itu memang untuk menunjukkan besarnya komitmen kita. Dalam pidato saya di World Economic Forum (Vietnam, September 2018), di PBB (New York, Juni, 2017) menunjukkan bahwa riset dan studi mengenai itu sudah banyak. Sekarang bagaimana action plan (rencana aksi) kita? Apakah kita sukses mencapainya di 2025 atau 2030 tergantung kita semua, tapi mestinya kalau kita sepakat, menurut saya bisa tercapai,” jelas Luhut 

Apa kabar “Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut”?

Salah satu kebijakan yang pernah diambil oleh pemerintah untuk mewujudkan targetnya itu adalah dengan menuangkannya dalam sebuah peta jalan bernama “Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut”.

Rencana aksi ini melingkupi langkah mengatasi sampah di hilir, pengembangan plastik ramah lingkungan, pengenaan pajak pada plastik sekali pakai, mengembangkan proyek aspal dengan campuran plastik untuk proyek jalan nasional, dan sejumlah aksi lainnya.

Lalu, bagaimana kesuksesan Indonesia menjalankan rencana tersebut sejauh ini sejak dibeberkan ke dunia dalam Our Ocean Conference di Malta tepat setahun lalu?

“Menurut dunia Internasional sih luar biasa. Kita dikatakan sebagai champion dalam bidang ini. Tapi kalau saya sendiri sih belum puas,” kata Luhut.

“Masih banyak yang harus kita selesaikan,” tegas dia.

 

Misalnya, Luhut melanjutkan, persoalan sampah harus masuk dalam kurikulum SD-SMP-SMA. Kesadaran soal sampah harus dibangun sejak dini.

“Saya masih kejar agar itu terjadi. Publik kita sendiri harus tahu. Ini masalahnya untuk generasi mendatang. Ini enggak ada urusan suku, agama, dan segala macam,” ujar Luhut.

“Seperti mikro-plastik, ini kalau plastik dimakan ikan, lalu ikan dimakan manusia, apalagi ibu-ibu hamil, pasti anaknya stunting atau kuntet. Kita kan enggak mau. Itu berbahaya. Kita enggak mau generasi Indonesia yang akan datang itu nanti kuntet. Presiden sudah memerintahkan ini untuk kita betul-betul kerja keras,” jelas dia

Musuh negara itu bernama mikroplastik

Bukan tanpa alasan masalah mikroplastik terangkat dalam konferensi ini dan disebut oleh Luhut. Hanya beberapa hari sebelum OOC 2018 dimulai, untuk pertama kalinya para peneliti di Wina, Austria menemukan partikel mikroplastik terkandung dalam tinja manusia.

Dalam studi yang dilakukan terhadap warga di Jepang, Eropa, dan Rusia, jenis plastik yang paling banyak ditemukan adalah polypropylene dan polyethylene.

Baca juga: Our Ocean Conference, Tanggung Jawab Bersama untuk Melindungi Lautan

Polypropylene mungkin paling sering Anda temui dalam bentuk pembungkus makanan, katup tabung obat, hingga tekstil dan karpet. Sementara polyethylene paling  sering kita jumpai dalam botol minum. Keduanya digadang-gadang sebagai produk plastik yang ringan, tahan lama, fleksibel, dan…. murah.

Lewat studi ini, para ahli bahkan memperkirakan sedikitnya separuh penduduk bumi memiliki mikroplastik dalam pencernaan mereka. Tentu saja mereka juga mengaku masih membutuhkan penelitian lanjutan untuk menegaskan ini.

“Mari kita bikin ini musuh bersama!” ajak Luhut.

“Lupain tuh perbedaan-perbedaan. Siapapun jadi pemimpin Indonesia lewat dari 2024, 2025, 2030, dan seterusnya, pasti akan terus menghadapi masalah ini kalau kita tidak kerja sama-sama,” ucap dia.

Ikan tombak dengan akumulasi mikroplastik yang didapatkan dari ikan perch, makanannya.Oona Lo?nnstedt/Science Ikan tombak dengan akumulasi mikroplastik yang didapatkan dari ikan perch, makanannya.

Menurut Luhut, kolaborasi harus dibangun tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri bersama masyarakat internasional.

Ada tiga hal yang penting untuk dilakukan. Pertama, persoalan sampah plastik harus masuk dalam kurikulum pendidikan nasional. Kedua, membangun budaya disiplin soal sampah plastik.Ketiga, pengelolaan sampah yang benar harus dilakukan sejak di rumah tangga hingga industri.

“Jadi hampir semua harus kerja sama. Ini masalah yang sangat masif. Terlalu banyak energi kita terbuang untuk perbedaan-perbedaan. Ini masalah kita bersama! Para intelektual setop dulu liat perbedaan, ini masalah generasi yang akan mendatang,” seru Luhut.

Baca juga: Berbatik Hitam, Jokowi Baca Puisi di Our Ocean Conference 2018

“Kalau kita tidak tackle ini dengan benar, kita akan lihat generasi depan Indonesia kuntet atau stunting, dan itu berpengaruh 1 hingga 2 persen pada PDB kita. Artinya, orang yang stunting ini tidak akan bisa tamat SD. Kalaupun tamat badannya pendek dan otaknya tidak akan bagus. Dia tidak akan bisa kerja. Lebih bagus mencegah,” kata Luhut lagi.

Teladan

Disiplin soal sampah juga menyangkut teladan. Luhut merasa prihatin karena masih banyak pejabat yang tidak memberikan teladan yang baik.

“Masih ada pejabat-pejabat kita kadang-kadang main golf masih buang sampah. Sederhana aja gitu ya. Menurut saya ini enggak bener. Padahal, dia klaim dia intelektual. Ada juga orang yang menggunakan plastik dan membuang seenaknya saja, lalu ada yang buang sampah ke sungai, semua harus kita hindari. Di gereja, di masjid, di mana saja kita harus bicara soal kebersihan. Kebersihan itu kan berhubungan dengan agama,” ujar dia.

Indonesia tidak sendirian. Baik dalam menciptakan sampah lautan, maupun dalam memeranginya. Setidaknya ada 633 komitmen yang ditanda tangani sepanjang penyelenggaraan Our Ocean Conference 2018. Semuanya untuk membuat laut lebih sehat dan produktif, termasuk lautan di Indonesia.

Tapi, tidak satu pun komitmen itu berarti kalau dunia tidak mengaplikasikannya.

Saya tidak menandatangani satu pun komitmen itu, dan barangkali juga Anda. Tapi, mestinya tidak butuh tanda tangan untuk ikut berkomitmen menjaga laut kita. Mulai dari yang sederhana, buanglah sampah pada tempatnya. Ingat anak cucu kita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com