Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tragedi Jessica Mananohas dan Psikologi Seorang Ibu Pembunuh

Kompas.com - 26/10/2018, 21:05 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Kasus kematian Jessica Manonahas di Manado setelah diduga dibakar ibu kandungnya sendiri menyentak publik. Pasalnya tak akan banyak yang menyangka seorang ibu tega menyakiti anaknya bahkan hingga meninggal.

Kasus ini meninggalkan pertanyaan, bagaimana bisa seorang ibu melakukan tindak kekerasan hingga membunuh anak kandungnya?

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, banyak faktor yang mempengaruhi orangtua berlaku di luar batas kewajaran.

"Pemicu (orangtua menganiaya anaknya) bisa dari personal, faktor stres tinggi seperti ekonomi, keluarga. Beragam," ucap Ketua KPAI Santoso saat ditemui pada Senin (13/11/2017).

Santoso mengatakan, terkadang faktor-faktor tersebut sangat dominan sehingga orangtua dapat melakukan kekerasan terhadap anak. Bahkan, sang anak menjadi obyek dari kondisi internal yang bersangkutan.

Riwayat Kehidupan Ibu

Namun, menurut para psikolog, si ibu yang tega menganiaya atau membunuh anak perlu menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apa yang mendorong ibu melakukan hal tersebut.

Hal ini diungkapkan oleh Astrid WEN, psikolog dari Pion Clinician.

Menurut Astrid, ketika dihubungi melalui sambungan telepon oleh Kompas.com pada Senin (26/2/2018), pihak kepolisian yang bekerja sama dengan psikolog harus menelusuri riwayat kekerasan pada sang ibu.

Tujuannya adalah untuk mencari tahu faktor pencetus yang menggerakkan sang ibu hingga tega berbuat bengis.

Baca juga: Kasus Ibu yang Tega Setrika Anaknya di Garut, Apa Kata Psikolog?

"Kita perlu melihat histori kekerasan yang terjadi dalam keluarga tersebut. Selain itu, telusuri jejak kekerasan yang dialami atau dikerjakan oleh ibu tersebut saat menjadi anak," ujar Astrid.

"Kalau seorang ibu hingga berani melakukan kekerasan pada anak, dicurigai ibu tersebut pernah jadi korban kekerasan sebelumnya, tidak cuma sekali tapi berulang-ulang. Dia bukan hanya sebagai pelaku di masa kini, tetapi juga korban atas akumulasi memori yang ia tumpuk," imbuhnya.

Dorongan "Melindungi" Anak

Dirangkum dari Vice, Senin (19/02/1018), kasus penganiayaan dan pembunuhan oleh ibu kandung (maternal filicide) ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa kasus juga terjadi di negara maju seperti Australia dan AS.

Kasus-kasus penganiayaan dan pembunuhan anak oleh ibu juga menarik perhatian Phillip J Resnick dari Departemen Psikiatri Case Western Reserve University Schoool of Medicine.

Menurut Resnick dalam penelitian yang dipublikasikan dalam World Psychiatry, ada lima motif utama dari ibu yang tega menyakiti anak kandungnya sendiri.

Pertama, motif altruistik. Motif ini terjadi ketika seorang ibu membunuh karena cinta pada anaknya.

Dia percaya bahwa kematian adalah jalan terbaik untuk anaknya. Biasanya, hal ini dialami ibu yang mengalami kehidupan yang getir.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh salah satu ahli filus maternal dunia adalah Dr Cheryl Meyer. Profesor psikologi dari Universitas Ohio ini sempat mewawancarai puluhan wanita yang tega membunuh darah dagingnya.

Salah satu ibu yang dia wawancarai memiliki riwayat hubungan seks pada usia dini (16 tahun), suami yang kasar, penggunaan narkoba, hingga jadi korban perkosaan oleh adik iparnya sendiri.

Pengalaman yang tak menyenangkan itu memicu keinginan untuk bunuh diri. Tapi mengingat suaminya sering berbuat kasar, dia tak tega meninggalkan buah hatinya.

Baca juga: Ibu Tak Sadar Digigit Ular, Anak 3 Tahun di India Tewas Karena Menyusu

Alasan ini membuatnya nekad untuk membunuh anak-anaknya dan bunuh diri. Tapi, setelah membunuh anak-anaknya, upaya bunuh diri sang ibu justru gagal.

Dalam laporan di Chicago Tribune, Jumat (13/01/2018), Michelle Oberman, seorang profesor hukum di Santa Clara University di Santa Clara, Calif mengataan, "Ibu tersebut tidak rasional. Dia sangat terganggu. Tapi narasi (dalam pikirannya) berjalan bahwa seorang ibu yang baik tidak meninggalkan anak-anaknya tanpa perlindungan."

Bisikan Gaib Hingga Gangguan Mental

Motif kedua adalah psikotik. Motif ini berkembang ketika seorang ibu berhalusinasi mendapat perintah untuk membunuh anaknya.

Di Indonesia, hal ini sering kali dikaitkan dengan ajaran sesat.

Ketiga, pembunuhan karena kelalaian sang ibu. Dalam motif ini, kematian bukanlah tujuan dari sang ibu.

Biasanya, kematian terjadi akibat akumulasi penganiayaan yang diterima sang anak atau kelalaian sang ibu. Motif ini juga sering berkaitan dengan sindrom Munchausen.

Sindrom Munchausen sendiri adalah penyakit mental di mana seseorang senang menciptakan gejala penyakit pada diri atau anak mereka untuk mendapatkan perhatian.

Salah satu motif yang sering terjadi adalah karena anak tak diinginkan. Sering kali alasan ini menjadi faktor utama ibu tega menganiaya atau membunuh anaknya.

Tak hanya masalah anak haram, pikiran tentang anak sebagai penghalang masa depan ibu juga bisa memicu perilaku ini.

Motif paling langka dalam kasus ini adalah balas dendam pada pasangan. Namun, kenyataannya, beberapa orang merasa dengan menyakiti buah hati bisa menjadi media untuk menyakiti pasangan secara emosional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com