Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merasa Sekarang Jawa Panasnya Luar Biasa? Itu Salah Kita Semua

Kompas.com - 13/10/2018, 17:07 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com – Pada bulan Oktober ini, banyak masyarakat kota-kota di Jawa yang mengeluhkan panasnya cuaca dan lambatnya kedatangan hujan.

Menurut prakiraan BMKG, hujan memang terlambat 10 hingga 30 hari dari jadwal sehingga baru akan dimulai pada akhir Oktober atau awal November.

Lantas, bisakah kita menyalahkan keterlambatan ini pada perubahan iklim?

Menurut pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Drs. Zadrach Ledoufij Dupe M.Si., jawabannya tergantung pada pemahaman Anda mengenai penyebab perubahan iklim.

“Saya tanya, penyebabnya (perubahan iklim) apa? Jawabnya kan karbondioksida (CO2). Masalahnya, menurut saya, itu bukan CO2. Komponen utama perubahan iklim itu ada di manusia,” ujarnya ketika dihubungi oleh Kompas.com via sambungan telepon pada hari Jumat (12/10/2018).

Baca juga: Suhu Jawa 34-37,5 Derajat Celcius, Bukan Berarti Rasanya Sepanas Itu

Zadrach membandingkan kondisi kota-kota di Jawa pada generasi sebelumnya dengan generasi sekarang yang jauh berbeda.

“Zamannya ayah Anda itu berapa jumlah penduduknya? Berapa bangunan yang ada? Berapa sawah dan sebagainya? Kan sekarang semua berubah jadi gedung. Lalu, kalau kita bilang (iklimnya) tidak berubah, ya mana mungkin,” tuturnya.

Dia mengatakan, ketika kita mengubah karakter permukaan bumi, kita juga mengubah keseimbangan energi yang datang dari matahari.

Pasalnya, jika energi matahari yang datang ke permukaan bumi sama dengan yang keluar, suhu permukaan bumi menjadi konstan atau tidak berubah.

Namun, ketika kita membangun aspal, gedung bertingkat, dan kaca di mana-mana, komposisi radiasi matahari di bumi pun berubah. Energi yang datang menjadi semakin besar, sedangkan yang keluar menjadi semakin sedikit karena terhalang oleh gas-gas rumah kaca.

Baca juga: Merasa Jakarta dan se-Jawa Panas? Jangan Heran, Ini yang Terjadi

Fenomena ini disebut dengan istilah “Urban Heat Island” atau pulau panas perkotaan, yakni ketika sebuah wilayah metropolitan menjadi lebih hangat dari wilayah pedesaan di sekitarnya.

Dulu, pulau panas perkotaan hanya terjadi pada dua atau tiga kota di Jawa saja, tetapi kini hampir semua titik di Jawa berubah menjadi metropolitan sehingga panasnya merata.

“Kalau tidak mau (pulau panas perkotaan), ya jadikan saja semuanya hutan. Tapi, siapa yang mau tinggal di hutan? Siapa yang mau rumahnya dibongkar?,” ujar Zadrach.

Tanpa upaya untuk mengatur manusianya, Zadrach berkata bahwa menekan emisi CO2 sebagai cara untuk mengontrol perubahan iklim akan sia-sia.

Untuk kondisi populasi yang sudah terlanjur banyak ini, solusi yang disarankan oleh Zadrach adalah pengaturan pertumbuhan penduduk Indonesia yang baik, misalnya melalui program keluarga berencana atau KB. Dengan demikian, kita juga bisa mengatur perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.

“Kalau jumlah penduduk meningkat terus, kita akan selalu membutuhkan perumahan, transportasi, dan jalan,” tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com