Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

4 Fakta tentang Alat Deteksi Tsunami Buoy di Indonesia

Kompas.com - 02/10/2018, 11:00 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Editor

KOMPAS.com - Indonesia tidak memiliki Deep-Ocean Tsunami Detection Buoy sejak 2012 padahal semula memiliki 21 buoy yang dihibahkan Jerman, Amerika Serikat, dan Malaysia.

Ketiadaan alat yang mengapung di laut itu mengharuskan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi tsunami pasca gempa berdasarkan metode pemodelan.

Artinya, perkiraan tsunami itu dihitung dalam perangkat lunak, berdasarkan pusat kedalaman dan magnitudo gempa.

Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, mengatakan, metode penghitungan potensi tsunami yang kini diterapkan BMKG tak selalu presisi.

"Dulu skenarionya, data buoy mendukung BMKG. Kalau data itu ada, maka level peringatan tsunami kami akan semakin tegas," kata Rahmat.

Dengan garis pantai nomor dua terpanjang di dunia yakni 99.093 km, berdasar data Badan Informasi Geospasial, seberapa penting peranan buoy di Indonesia?

Sebelum membahas peran buoy, BMKG telah mengidentifikasi 18.000 skenario tsunami yang bisa terjadi kapan saja.

Ketika terjadi gempa, Stasiun Geofisika merekam getaran bumi. 170 sensor yang terpasang di daratan mengirimkan datanya ke Pusat Gempa Nasional di Jakarta untuk mengetahui kekuatan dan pusat gempa.

Pada waktu yang sama, tujuh stasiun sistem pemosisian global (GPS) di pesisir Sumatera bagian barat dan Jawa bagian selatan mengukur data pergeseran permukaan bumi yang disebabkan gempa.

Dengan bantuan satelit navigasi, data itu terkirim dengan akurat.

Baca juga: 4 Spekulasi Terjadinya Tsunami Palu Menurut Para Ahli

Data yang sudah terekam akan dielaborasi dengan pembanding skenario yang dihitung sebelumnya, dari sini peringatan dini tsunami bisa diputuskan dalam hitungan detik.

Cara Kerja Buoy

Skenario tersebut bisa ditegaskan dengan data dari buoy. Cara kerjanya, alat pengukur tekanan gelombang di dasar laut mendeteksi secara cepat dan langsung dilaporkan ke buoy yang berada di atas permukaan laut.

Tinggi gelombang yang akan terhempas menuju pesisir secara akurat dapat dilaporkan buoy.

Data aktual itu diterima satelit, alarm peringatan dini sudah bisa diaktifkan.

"Sebelum masuk ke daratan, buoy mencatat dan mengirim data kepada kami (BMKG), lalu kami bisa putuskan dan mempertegas sistem peringatan dini." Kata Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono.

Dengan demiian menurut Rahmat Triyono, buoy dapat mengetahui langsung secara aktual data di lapangan.

Tinggal Kenangan

Namun buoy kini tinggal cerita. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut Indonesia tidak lagi memiliki buoy untuk mendeteksi tsunami sejak 2012 silam.

"Sejak 2012 nggak ada yang beroperasi, padahal dibutuhkan untuk peringatan dini," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho.

Awalnya, Indonesia memiliki 22 unit buoy. Namun menurut Sutopo Purwo Nugroho, semua buoy sudah tidak ada yang beroperasi.

Tidak adanya biaya pemeliharaan dan operasi menyebabkan buoy tidak berfungsi sejak 2012. Tidak hanya rusak namun juga hilang.

Menurut Sutopo Purwo Nugroho, kerusakan buoy sudah tentu memengaruhi akurasi dan kecepatan peringatan dini tsunami.

Baca juga: Kok Bisa-bisanya Tsunami Palu Tak Terdeteksi? BIG Beberkan Masalahnya

Pentingnya Buoy

"Dengan adanya buoy, kita bisa secara tepat dan cepat menentukan ada tidaknya tsunami, kita juga bisa mengetahui daerah mana yang akan paling parah dihantam tsunami," kata Sutopo.

"Sehingga penanganan bencana pun bisa lebih fokus." tambahnya.

Menurut BMKG tanpa buoy sebenarnya peringatan dini tsunami juga bisa dilakukan.

Namun akan lebih baik jika ada buoy. Terutama dalam masalah kecepatan dan akurasi data, termasuk berapa banyak populasi yang bisa selamat.

Artunya, buoy sangat penting untuk membuat keputusan peringatan dini tsunami yang memberikan waktu bagi warga pesisir untuk menyelamatkan diri.

Konsekuensi Tanpa Buoy

Meski bisa dilakukan tanpa buoy, tetapi ada konsekuensi besar ketika tidak ada alat ini.

Desember 2017 lalu misalnya, guncangan gempa dirasakan warga di pesisir selatan Jawa. Gempa ini kemudian diikuti peringatan dini Tsunami di Pesisir Pangandaran, Jawa Barat yang belum berakhir selama berjam-jam.
Ini terjadi karena tidak ada bouy yang dapat melaporkan secara aktual tinggi permukaan laut. Peringatan dini tsunami baru berakhir setelah tiga jam, tanpa adanya tsunami.

Berbeda dengan di Palu. Ketinggian gelombang saat menghantam daratan pada peringatan dini tsunami sebelum berakhir tidak bisa dipastikan karena tidak ada buoy.

BMKG hanya mengetahui ketinggian hingga cepatnya gelombang laut ke daratan melalui skenario tsunami yang telah diperhitungkan sebelumnya.

Akibatnya, tsunami yang menghantam kota Palu tersebut membuat kaget banyak pihak karena ukuran kekuatan yang lebih besar dari prediksi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau