Dalam diagnosis, pasien akan diminta menceritakan rasa sakit yang dialami dan melakukan tes pencitraan dengan MRI.
"Tujuan MRI lebih untuk memastikan tidak ada tumor dan kista. Kalau tidak ada dua itu, bisa dipastikan masalahnya pada pembuluh darah," katanya.
Pengobatan
Sejumlah obat seperti carbamazepin, obat anti epilepsi, dan gabapentin menjadi alternatif pertama untuk terapi.
Sayangnya, kerap kali obat tak efektif. Rasa sakit tetap muncul walaupun menenggak dosis hingga 1.200 mg per harinya.
Langkah paling mujarab adalah operasi. Dokter akan membedah kepala, memasang lapisan teflon di antara saraf dan pembuluh darah yang berdekatan.
Kelemahan operasi adalah mahal. Biayanya mencapai Rp 150 juta. Pasien juga harus dalam keadaan fit, tidak punya riwayat ginjal dan hipertensi.
Botox juga bisa menjadi alternatif tindakan. Namun efeknya hanya sebentar. Pasien akan kambuh dalam waktu 3 bulan.
Tindakan paling optimal adalah ablasi frekuensi radio. Dengan tindakan itu, saraf sumber rasa sakit akan dipanaskan dengan alat yang memancarkan gelombang persis dengan gelombang radio AM.
Panas akan mematikan ujung saraf sehingga tidak menghantarkan sinyal sakit. "Ibaratnya kita mematikan sekring agar listrik tidak mengalir," kata Mahdian.
Saat tindakan, pasien akan dibius. Di bagian akhir, pasien akan dibangunkan untuk mengetahui efektifitas tindakan.
Kelebihan ablasi frekuensi radio dibandingkan terapi lain adalah harganya yang lebih murah, hanya Rp 18 juta termasuk obat. Potensi kekambuhan juga lebih lama.
Kelebihan lain adalah waktu tindakan yang hanya 15-30 menit dan tanpa rawat inap. Setelahnya, rasa sakit pasien 80 persen berkurang dan berangsur menghilang.
Banyak penyakit bisa dicegah tetapi sayangnya trigeminal neuralgia tidak. "Ini bukan penyakit karena gaya hidup. Saat kena, hanya perlu menemui dokter yang tepat," kata dr Mahdian.
Baca juga: Sama Sakitnya dengan Serangan Jantung, Nyeri Haid Malah Diabaikan