Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Rumah Sakit Terapung di Teluk Bintuni, Begini Rupanya

Kompas.com - 04/09/2018, 19:10 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

TELUK BINTUNI,  KOMPAS.com – Ada yang tidak biasa di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Dikarenakan kondisi geografisnya yang begitu menantang, Teluk Bintuni memiliki rumah sakit apung berbentuk kapal dan rumah sakit keliling berbentuk ambulans untuk menjangkau masyarakatnya.

Keduanya merupakan bagian dari program Rumah Sakit Masuk Kampung atau Rampung yang baru berjalan pada tahun ini.

Melalui program tersebut, para dokter datang ke antara masyarakat untuk memberikan layanan kesehatan gratis; dan bila ditemukan pasien yang membutuhkan perawatan lanjutan, Rampung akan membawa mereka ke RSUD Teluk Bintuni.

Dr Eka W Suradji, Phd, Direktur Utama RSUD Kabupaten Teluk Bintuni, berkata bahwa Rampung ditargetkan beroperasi minimal dua bulan dua kali, masing-masing sekali.

Baca juga: Kiat Teluk Bintuni Berdayakan Diri dari Malaria

“Sejauh ini sudah berjalan dua kali dan animonya sangat baik, sampai ‘dikepung’. RS Apung melayani penyakit ringan dari batuk dan pilek sampai yang berat,” ujarnya kepada Kompas.com, di RSUD Teluk Bintuni Selasa (28/8/2018).

Rupa RS Apung

Ruang tindakan RS ApungShierine Wibawa/Kompas.com Ruang tindakan RS Apung

Pada hari Rabu (29/8/2018), Kompas.com berkesempatan untuk melihat RS Apung bersama dengan Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dan Gubernur Provinsi Papua Barat Dominggus Mandacan.

Dari luar, RS Apung terlihat seperti kapal biasa. Namun, ada tulisan “Bintuni Sehat” dan logo Teluk Bintuni di sisinya. Pada hari itu, kapal RS Apung juga dihiasi dengan poster yang menyatakan adanya peninjauan oleh Menteri Kesehatan RI dan Gubernur Provinsi Papua Barat.

Menurut Eka, kapal ini bisa mencapai 10 distrik luar sedangkan mobil, bisa mencapai 12 distrik daratan.

Dalam satu kali perjalanan yang bisa berlangsung selama 5-7 hari, RS Apung akan membawa dua orang dokter spesialis yang salah satunya adalah dokter kandungan, tiga perawat dan dua bidan. Terkadang, dokter spesialis lain yang ikut adalah dokter penyakit dalam atau dokter umum.

Baca juga: Jalan Panjang Pembangunan Kesehatan di Papua Barat

Ruang laboratorium di RS ApungShierine Wibawa/Kompas.com Ruang laboratorium di RS Apung

Untuk membantu mereka bertugas, RS Apung dilengkapi dengan ultrasonografi (USG), ruang tindakan dengan peralatan bedah yang mumpuni, apotek, dan laboratorium yang bisa melakukan berbagai rapid testing untuk malaria, HIV, sifilis, hepatitis, gula darah, dan kolesterol.

Dokter umum, Satrya, berkata bahwa kapal apung memang ditujukan untuk mengatasi kegawatan seperti pendarahan atau tensi darah yang turun. Akan tetapi, operasi besar sebisa mungkin tidak dilakukan di RS Apung.

Pasalnya di samping belum adanya peralatan anestesi di kapal ini, RS Apung sangat dipengaruhi oleh ombak yang pasang surut. “Kalau butuh ketelitian dan keamanan, sebisa mungkin operasi tidak dilakukan di sini,” ujarnya.

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek (tengah) meninjau RS ApungShierine Wibawa/Kompas.com Menteri Kesehatan Nila F Moeloek (tengah) meninjau RS Apung

Usai meninjau RS Apung, Nila berkata bahwa semua penduduk berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk menjangkau mereka yang berada di daerah terpencil, Kementerian Kesehatan telah membuat Flying Health Care (Layanan Kesehatan Udara).

“Tapi tetap secara geografis, kami melihat ada penduduk yang tinggal di pesisir. Oleh karena itu, RS Apung ini sangat ideal untuk Indonesia,” katanya.

Nila pun memuji kelengkapan laboratorium dan fasilitas di RS Apung yang memperbolehkan para dokter untuk melakukan tindakan-tindakan kecil, khususnya untuk menangani kegawatdaruratan.

Dia berkata bahwa Kepulauan Riau yang wilayah daratnya lebih sedikit daripada wilayah perairannya juga memiliki layanan kesehatan menggunakan kapal, tetapi kapalnya lebih kecil dan fasilitasnya tidak selengkap RS Apung.

Meski demikian, dia juga mencatat keluhan akan besarnya biaya perawatan dan operasinal RS Apung yang dalam satu kali perjalanan butuh lima ton bahan bakar. Nila berharap agar ke depannya, akan ada terobosan untuk menyelesaikan masalah ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com