Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kiat Teluk Bintuni Berdayakan Diri dari Malaria

Kompas.com - 01/09/2018, 17:03 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

TELUK BINTUNI, KOMPAS.com - Secara geografis, Teluk Bintuni yang sebagian besar wilayahnya adalah rawa dan hutan mangrove seharusnya endemik malaria. Dikatakan oleh Dr Eka W Suradji, Phd, Direktur Utama RSUD Kabupaten Teluk Bintuni, banyaknya rawa di Teluk Bintuni membuat area ini memiliki jumlah nyamuk yang sangat banyak.

Akan tetapi, data RSUD menunjukkan bahwa pola penyakit di Teluk Bintuni tidak terlalu berbeda dari kota-kota besar. Bila dahulu penyakit utamanya adalah malaria dan tuberculosis, kini masyarakat Teluk Bintuni lebih diberatkan oleh penyakit jantung, gagal ginjal, dan hipertensi.

Data ini dikonfirmasikan juga oleh Bupati Teluk Bintuni, Ir Petrus Kasihiw, MT yang dalam presentasinya mengenai Pembangunan Kesehatan di Kabupaten Teluk Bintuni pada Rabu (29/8/2018) di Dinas Kesehatan Teluk Bintuni.

Dia menyampaikan bahwa kasus malaria di Teluk Bintuni pada tahun 2018 hingga bulan Juni hanyalah 0,8 per 1.000 penduduk. Angka ini berbeda jauh dari tahun 2009 yang mencapai 114,9 per 1.000 penduduk.

Baca juga: Imunisasi MR di Teluk Bintuni Capai 100 Persen

Keberhasilan ini berawal pada 2003 setelah Kabupaten Teluk Bintuni dimekarkan dari Manokwari.

Pemerintah Teluk Bintuni menggandeng seluruh pemegang kewenangan untuk mengubah fokus mereka dari pemberantasan nyamuk dan pengobatan kasus-kasus malaria menjadi Diagnosis Dini dan Pemberian Pengobatan secara Tepat (EDAT) yang menekankan pada kecepatan pelayanan.

Eka menjelaskan, karena kalau mengejar nyamuknya bakal lama, jadi kita potong transmisi pada pasiennya. Dengan demikian, kalaupun nyamuk menggigit, selama yang digigit tidak ada plasmodiumnya maka tidak akan ada penyebaran malaria.

Dalam pelaksanaannya, EDAT yang didukung oleh Perbup Malaria mengenai Akselerasi Eliminasi Malaria (Arema) melibatkan banyak pihak.

Bersama dengan BP-LNG Tangguh, dibentuklah Juru Malaria Kampung dan Juru Malaria Perusahaan. Para kader yang sebetulnya masyarakat awam dari sekitar 150 kampung di Teluk Bintuni dan 11 orang dari perusahaan ini dipilih secara khusus dan dilatih untuk memeriksa darah dan mengobati malaria di bawah pengawasan petugas kesehatan.

Timbangan yang diwarnai agar berkorespondensi dengan kemasan obat di Posyandu BintuniShierine Wibawa/Kompas.com Timbangan yang diwarnai agar berkorespondensi dengan kemasan obat di Posyandu Bintuni

Para kader juga dibuatkan kemasan obat yang berkorespondensi dengan warna pada timbangan. Sebagai contoh, jika jarus timbangan berada di area merah maka obatnya adalah yang berkemasan merah. Dengan demikian, para kader tidak perlu berhitung dahulu untuk mengetahui dosis obat bagi tiap individu.

Eka berkata bahwa ketika baru diluncurkan, EDAT mengalami banyak penolakan dan kontroversi. Salah satunya adalah anggapan bahwa yang memeriksa darah seharusnya petugas kesehatan.

“Dari sisi logistik, kita tidak bisa pakai paket-paket yang berdasarkan umur karena ada anak-anak yang badannya besar dan lansia yang badannya kecil. Kalau pakai berat badan, bacanya juga salah-salah. Jadi ini terus berevolusi menjadi diwarnai timbangan berat badannya,” ujarnya.

Di samping itu, pemerintah Teluk Bintuni juga mendistribusikan kotak malaria ke seluruh puskesmas, pustu dan JMK sembari membatasi penjualan obat malaria secara bebas di apotek, toko obat, dan warung.

Seluruh petugas kesehatan yang baru direkrut juga diberi pelatihan malaria sebelum ditempatkan di tempat tugasnya. Lalu, setiap puskesmas, pustu, JMK dan JMP dikunjungj secara rutin untuk menjamin kualitas pelaksanaan program malaria di daerahnya.

Baca juga: Mengenal Sambiloto, Si Raja Pahit Penangkal Penyakit Malaria

Kesuksesan program malaria di Bintuni ini mendapatkan banyak penghargaan, termasuk Juara Pelayanan Publik PBB Wilayah Asia Pasifik, dan menarik perhatian Menteri Kesehatan Nila F Moeloek yang berkujung ke Posyandu Bintuni untuk meninjau sistem pelaksanaan EDAT.

“Saya kira ini yang dinamakan membuat sistem dan membuat perubahan perilaku,” ujarnya.

Dia melanjutkan, masyarakat menjadi tahu bahwa kalau badannya terasa tidak enak dan demam, mereka langsung mendatangi (petugas kesehatan). Jadi mereka sudah tahu dan sadar untuk mengecek apakah darahnya positif malaria atau tidak. Jadi, penghargaan dari PBB ini adalah untuk pemberdayaan masyarakat dalam kesadaran untuk mengobati dirinya sendiri.

Nila juga berkata bahwa pihak Kemenkes akan mencoba mengkaji program malaria di Bintuni dan menularkannya ke daerah-daerah lain.

Sementara itu, Eka berkata bahwa Kabupaten Teluk Bintuni sendiri akan memacu untuk mencapai target transmisi lokal 0 selama 3 tahun atau mencapai eliminasi malaria pada 2021-2022.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com