KOMPAS.com - Baru-baru ini, sebuah tim arkeolog menemukan sisa-sisa roti tertua di dunia. Roti yang diperkirakan berusia 14.500 tahun ini memgubah sejarah dunia.
Pasalnya, roti tersebut berusia lebih tua 4.000 tahun dibanding budaya pertanian muncul.
Artinya, artefak roti tersebut membuktikan bahwa masyarakat di zaman berburu dan meramu (periode epipaleolitik) telah memproduksi makanan panggang. Ini jauh dari perkiraan banyak ahli selama ini.
"Kehadiran ratusan makanan hangus yang tetap di perapian di situs Shubayqa 1 adalah temuan luar biasa, dan itu telah memberi kami kesempatan untuk mengkarakterisasi praktik makan 14.000 tahun lalu," ungkap Amaia Arranz Otaegui, penulis utama penelitian ini dikutip dari CNN, Selasa (17/07/2018).
"Jadi sekarang kita tahu bahwa produk-produk seperti roti telah diproduksi jauh sebelum perkembangan pertanian," sambung ahli tanaman purba dari University of Copenhagen itu.
Otaegui juga mengatakan bahwa temuan ini bisa berkontribusi dalam revolusi sejarah pertanian priode Neolitik.
Menurut penelitian, sisa-sisa roti tersebut terbuat dari sereal yang dibumbui oleh parutan umbi. Otaegui sempat mencicipi umbi yang digunakan dalam pembuatan roti purba itu.
"Itu (umbi) memiliki rasa sedikit manis dan sedikit asin dan memiliki tekstur tajam, tapi mungkin itu karena kami tidak membersihkannya dengan cukup baik," tuturnya.
Sebelum penemuan ini, roti tertua yang ditemukan berasal dari situs neolitik akhir. Produksi roti tersebut ada di Turki dan Belanda.
Hal itu membuat temuan roti kali ini menjadi bukti langsung bahwa praktik produksi roti telah berlangsung jauh lebih lama sebelum masa pertanian muncul.
Baca juga: Ini Sebabnya Roti Gandum Utuh Lebih Sehat dari Roti Gandum Biasa
"Kami tertarik pada orang-orang di masa berburu dan Meramu Natufian karena mereka hidup melalui masa transisi ketika orang memilih hidup menetap dan pola makan mereka berubah," ujar Tobias Ritcher, pemimpin penggalian ini.
Dalam laporan mereka, para penulis mencatat bahwa bahan-bahan artefak roti ini sulit ditemukan. Ini mungkin membuat masyarakat pada masa berburu dan meramu menganggapnya sebagai makanan mewah.
Apalagi seluruh proses pembuatan roti relatif tidak ekonomis. Mereka harur memanen gandum liar, memisahkan biji, menggilingnya, membuat adonan, hingga memasaknya.
Artinya, aktivitas ini akan memakan waktu lama.
"(Roti ini) digunakan untuk menjamu tamu yang diundang dan mendapatkan gengsi bagi tuan rumah," kata Ritcher.
Temuan ini juga mendapatkan berbagai tanggapan dari para arkeolog lain. Salah satunya adalah Profesor Dorian Fuller, ahli sereal prasejarah terkemuka di Institute of Archaeology.
"Penemuan ini menunjukkan bahwa makanan menjadi sesuatu yang lebih bernilai lebih dari sekedar kalori," ungkap Prof Fuller dikutip dari The Independent, Selasa (17/07/2018).
"Ini menunjukkan bahwa orang-orang dari 14.00 tahun lalu telah menginsumsi makanan untuk alasan sosial, budaya, dan ideologi potensial," sambungnya.
Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences ini juga disebut menunjukkan, pembuatan roti mungkin pada akhirnya membantu memotivasi orang untuk mulai membudidayakan sereal.
Dengan kata lain, ini mengarah pada kelahiran budaya pertanian.
Baca juga: Cegah Kanker, Jangan Panggang Roti Terlalu Matang
Sebenarnya ini berlawanan dengan hipotesis akademisi sebelumnya yang menyebut buadaya pertanian yang membawa pada penemuan roti.
"Produksi masakan berbasis roti adalah salah satu motivasi di balik orang yang mengembangkan pertanian di Timur Tengah. Dari sana, pertanian dan roti menyebar ke Eropa dan Afrika Utara," tutur Prof Fuller.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.