Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penerapan Hutan Sosial untuk Kurangi Deforestasi Punya Konsekuensi

Kompas.com - 06/06/2018, 19:36 WIB
Mutia Fauzia,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam rangka memeringati World Environment Day atau Hari Lingkungan Hidup Sendunia yang jatuh setiap 5 Juni 2018, pemerintah perlu untuk melakukan pemetaan kondisi hutan beserta penegakan hukumnya agar implementasi perlindungan dan pelestarian hutan bisa mengurangi laju deforestasi.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Imelda Freddy mengatakan, salah satu upaya pemerintah untuk melestarikan lingkungan hidup adalah dengan mencanangkan Perhutanan Sosial yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 39 Tahun 2017.

Pemerintah melakukan hal ini dengan cara memetakan kondisi-kondisi hutan di Indonesia, lalu melepas kawasan-kawasan hutan tertentu agar dapat dikelola menjadi hutan sosial. 

Masyarakat kemudian diberi akses untuk mengelola hutan sosial sehingga dapat mendatangkan manfaat secara ekonomi sekaligus dapat menjaga kelestariannya.

Baca juga: 8 Orangutan Jadi Murid Pertama Sekolah Hutan, Belajar Apa?

“Dengan adanya pelepasan ini, maka hutan-hutan yang masih lestari tetap terjaga karena masyarakat sekarang hanya diperbolehkan menggarap hutan yang sudah ditentukan saja,"  ungkapnya melalui keterangan pers yang diberikan kepada Kompas.com, Selasa (5/6/2018).

Dia melanjutkan, seterusnya dengan cara ini maka bisa mengurangi deforestasi karena pemanfaatan hutan tidak akan merambah ke lokasi yang memang didedikasikan bagi hutan lindung.

Sebagai informasi, hutan sosial biasanya terdiri hutan-hutan gundul yang non produktif yang selama ini memang tidak digarap. Contoh hutan gundul yang non produktif adalah hutan lokasi-lokasi sengketa.

Menurut Imelda, kelompok tani juga seharusnya bisa diberikan hak untuk mengelola hutan. Dengan melibatkan kelompok tani, hutan diharapkan bisa memberikan manfaat ekonomi yang optimal sekaligus dapat melibatkan banyak orang untuk pelestariannya.

Baca juga: Dongeng Penjarahan Hutan Indonesia, Dosa Orde Baru dan Kelapa Sawit?

“Tapi pemetaan juga harus diikuti adanya penegakan hukum. Dengan adanya penegakan hukum, diharapkan tidak ada lagi oknum-oknum yang mendapatkan keuntungan dari deforestasi. Pemerintah daerah harus memperkuat koordinasinya dengan kepolisian dan juga warga desa supaya bisa mendeteksi kemungkinan pelanggaran lebih cepat,” tambah Imelda.

Namun, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 39 Tahun 2017 disebut Imelda memiliki celah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Hutan lindungnya sendiri sudah terjaga dengan adanya peraturan ini, namun lokasi-lokasi yang dijadikan hutan sosial berpotensi untuk dimanfaatkan secara negatif. 

Imelda beranggapan, hutan sosial berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat karena kepemilikan lahan tersebut dapat dikuasai oleh kelompok tertentu saja sehingga pemanfaatnya tidak merata.

Selain itu, pemanfaatan hutan gundul sebagai hutan sosial juga dapat menyebabkan hutan semakin rusak parah dan berakibat banjir atau tanah longsor.

Potensi kerusakan hutan juga bisa terdafi jika dilakukan eksploitasi berlebih.

"Idealnya, dalam mengeluarkan peraturan pemerintah ini, pemerintah pun harus memiliki langkah-langkah mitigasi bencana yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan dan juga budaya masyarakatnya," tukas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com