Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3 Minggu Coba Vape, Gadis AS Kena Paru-paru Basah

Kompas.com - 18/05/2018, 12:20 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

Sumber CNN

KOMPAS.com - Seorang gadis remaja di Pennsylvania memutuskan mencoba rokok elektrik, vape.

Sayangnya, gadis ini harus membayar harga yang mahal untuk percobaannya ini.

Baru 3 minggu mengisap vape, gadis ini harus dilarikan ke ruang gawat darurat di University of Pittsburgh Medical Center.

Di rumah sakit, para dokter mencatat gejala yang berkembang di antaranya adalah batuk, kesulitan bernapas yang memburuk dari menit kemenit, dan rasa menusuk di dada ketika menghirup napas.

Sebelum demam, gadis ini menunjukkan gejala infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) seperti hidung meler dan tersumbat.

Menurutnya, sebelum mengalami masalah ini, dia punya riwayat penyakit asma ringan yang jarang menggunakan inhaler.

Ketika di ruang gawat darurat, batuk gadis ini menjadi lebih sering. Para dokter kemudian memberinya antibiotik.

Sayangnya, kondisinya justru memburuk lebih cepat. Ini menyebabkannya mengalami kegagalan pernapasan.

Baca juga: Undur Jadwal Pengujian Vape, BPOM Amerika Serikat Digugat

"Dia tidak bisa mendapatkan cukup oksigen ke dalam darahnya dari paru-paru dan membutuhkan ventilator mekanik (alat bantu respirator/pernapasan) untuk bernapas hingga paru-parunya pulih," ungkap Dr Daniel Weiner, direktur medis di Children's Hospital of Pittsburgh dikutip dari CNN, Kamis (17/05/2018).

Gadis itu tak hanya butuh alat bantu tersebut, tapi juga tabung yang disisipkan di kedua sisi dadanya untuk mengalirkan cairan dari paru-parunya.

Dokter mendiagnosisnya menderita pneumonitis hipersensitivitas atau yang lebih dikenal dengan istilah paru-paru basah.

Dr Casey Sommerfeld, dokter anak sekaligus penulis laporan ini di jurnal Pediatrics, mengatakan bahwa bahan kimia dalam cairan vape yang menyebabkan kerusakan paru-paru dan peradangan tersebut.

Peradangan pada paru-paru gadis tersebut memicu tubuhnya untuk meningkatkan respons kekebalan.

"Respons kekebalan ini dapat menyebabkan peningkatan peradangan dan pembuluh darah 'bocor' yang bisa menyebabkan akumulasi cairan di paru-paru," ungkap Smonnerfeld.

Untuk diketahui, vape bekerja dengan mengubah cairan panas menjadi uap. Uap inilah yang dihirup oleh para pengguna untuk dihembuskan kembali dalam asap yang tebal.

Cairan yang biasanya mengandung perasa ini sebenarnya terdiri dari propilen glikol, gliserin, dan nikotin.

Untungnya, gadis ini segera mendapatkan perawatan yang tepat. Dia mendapat infus methylprednisolone yang biasa digunakan untuk mengatasi alergi parah.

Meski begitu, masih belum diketahui seberapa sering kasus serupa terjadi.

"Sulit berspekulasi tentang seberapa sering ini bisa terjadi, namun ada beberapa laporan kasus yang melibatkan orang dewasa yang mengembangkan gangguan pernapasan setelah penggunaan rokok elektronik ini," ujar Sommerfeld.

Baca juga: Temuan Baru, Vape Tingkatkan Risiko Kanker

"Karena penggunaan vape meningkat, kita akan melihat lebih banyak laporan kasus dan efek sampingnya," sambung Sommerfeld.

Sommerfeld juga menjelaskan karena produk cairan vape mengandung nikotin maka ada beberapa efek samping yang terjadi.

"Vaping bisa menyebabkan efek samping termasuk pusing, sakit kepala, mual, jantung berdebar, kecemasan, dan sulit tidur. Nikotin diketahui membuat kecanduan, anak-anak bisa kecanduan rokok elektrik," jelasnya.

Sommerfeld sebenarnya setuju bahwa vaping "menormalkan" kebiasaan merokok.

Tapi menurutnya, untuk alasan seperti kasus ini, vaping dan penggunaan rokok elektronik lain harus dimasukkan dalam kategori "perilaku berisiko".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com