KOMPAS.com - Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo menunjukkan bahwa radikalisme dan terorisme masih marak di Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, Kompas.com menghubungi peneliti terorisme sekaligus Chairman The Lead Institut Universitas Paramadina, Jakarta, Dr phil Suratno, M.A untuk mencari tahu apa yang harus kita lakukan untuk melawan aksi radikal dan mewujudkan deradikalisasi.
Berikut hasil wawancara KOMPAS.com dengan Suratno yang juga pengurus PP Lakpesdam-PBNU (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) via e-mail, Selasa (15/5/2018).
Baca juga: Semangat Mengampuni Pelaku Terorisme, Bagaimana Sains Menjelaskannya?
Apa yang mendorong keluarga melakukan aksi bom bunuh diri seperti di Surabaya?
Para pelaku berafiliasi ISIS dan memang baru pulang dari Suriah. Motif utama selain klaim jihad adalah balas dendam.
ISIS di Suriah dan Iraq makin terpojok, banyak anggota yang pulang ke negara asal. Indonesia sendiri terindikasi ada lebih dari 500 returnee (anggota ISIS yang kembali).
Setelah mulai kalah oleh pasukan sekutu sejak dua tahun lalu, ISIS menginstruksikan para anggotanya untuk menyerang musuh-musuh mereka termasuk aparat keamanan di negara anggota simpatisan masing-masing dan juga simbol non-Islam seperti gereja dan sebagainya.
Modus melibatkan anak-anak dalam terorisme sangat berbahaya. Anak-anak hanya ikut-ikutan saja dan tidak berpikir lebih jauh tentang apa yang mereka lakukan. Mereka mau melakukan hal itu karena telah teradikalisasi.
Seperti Dita, banyak keluarga lain yang melakukan. Jadi ada proses radikalisasi pada anak-anak sehingga lebih mudah dilibatkan atau dimanfaatkan dalam aktivitas terorisme.
Baca juga: Ketika Anak Bertanya Arti Terorisme
2. Bagaimana cara deradikalisasi, mencegah terorisme, dan mengubah pandangan seorang teroris?
Untuk mencegah terorisme dibutuhkan kerjasama semua pihak. Komitmen pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai poros Islam moderat (washatiyyah) yang rahmatan lil alamin harus didukung agar implementasinya berhasil.
Islam moderat penting untuk menumbuhkan sikap toleran dan tidak ekstrem dalam beragama, apalagi sampai kekerasan. Jadi secara langsung dan tidak langsung, juga sebagai bentuk mencegah dan menangkal terorisme.
Tapi untuk deradikalisasi teroris yang dipenjara harus ada tim khusus seperti mantan ekstremis, psikolog dan lainnya. Para teroris dikategorikan sesuai level ekstremisme-nya masing-masing dan mendapat perlakukan dalam program deradikalisasi sesuai levelnya.
Bila program deradikalisasi berbasis penjara, maka harus ada reformasi sistem penjara di Indonesia. Kejadian di Mako Brimob Depok menegaskan sistem penjara teroris kita masih banyak kelemahan dan harus diperbaiki. Reformasi sistem penjara teroris ini mendesak untuk dilakukan.
Untuk yang di luar penjara selain pengawasan juga ada pembinaan dari sisi ekonomi, khususnya bagi yang latar belakangnya miskin. Masyarakat ikut mengawasi dan membantu proses integrasi teroris yang mau tobat untuk hidup "normal" di masyarakat.
Jadi jangan melabeli, dan tetap membantu mengawasi proses integrasinya.
Baca juga: Menalar Peran Teroris Perempuan di Balik Bom Bunuh Diri Surabaya
3. Tidak menutup kemungkinan kelompok radikalisme ada di dunia pendidikan, bagaimana sebaiknya pendidik terlibat?
Ini memang terjadi. Sebenarnya program pemerintah tentang pendidikan karakter salah satu tujuannya untuk menentang ekstrimisme. Tapi kelihatannya di dunia pendidikan, pendidikan karakter belum berjalan secara maksimal. Ini harus segera diperbaiki.
Saya sendiri bekerja sama dengan Kemitraan Partnership for Government Reform melakukan riset tentang infiltrasi ekstremisme di dunia pendidikan.
Dari delapan standar pendidikan, lima standar terbukti telah terinfiltrasi ekstremisme, yakni isi atau kurikulum, proses pendidikan, sarana-prasarana pendidikan, tenaga kependidikan dan pengelolaan pendidikan. Sementara 3 standar, yakni pembiayaan, penilaian dan kompetensi lulusan, belum terinfiltrasi.
Infiltrasi ekstremisme di dunia pendidikan, misalnya melalui muatan kurikulum yang mengandung ideologi ekstremisme atau mendukung dan membenarkan ideologi itu.
Buku-buku yang mengandung muatan ekstremisme itu ternyata telah menyebar cukup lama di banyak tempat di semua level pendidikan. Ini mengindikasikan lemahnya pengawasan dari pihak-pihak terkait.
Infiltrasi ekstrimisme melalui proses belajar mengajar belum bisa diwujudkan secara baik karena juga ditemukan adanya guru yang terpapar ekstremisme, terutama guru agama. Infiltrasi ekstremisme juga ditemukan melalui kerohanian Islam (rohis), utamanya di sekolah-sekolah umum.
Selain pembenahan hal-hal terkait di atas, sekarang sudah ada UKP PIP/BPIP Badan Penanaman Ideologi Pancasila. Revitalisasi semangat kebangsaan di dunia pendidikan mutlak diperlukan sebagai konter terhadap infiltrasi ekstremisme. Karena BPIP masih baru, jadi mari kita tunggu kiprahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.