KOMPAS.com - Pelaku bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya, Minggu (13/5/2018) adalah enam orang yang merupakan keluarga, ibu, ayah, dua anak laki-laki (18 dan 16 tahun), serta dua anak perempuan (12 dan 9 tahun).
Meski terdengar mengejutkan, dalam sejarah gerakan terorisme, fenomena keluarga teroris bukanlah hal baru. Hal ini diungkap dalam tulisan Dr. phil, Suratno, M.A, selaku peneliti terorisme dan Chairman The Lead Institut Universitas Paramadina, Jakarta.
Ia menyebut riset Della Porta tentang organisasi teroris sayap kiri yang berbasis di Italia, Brigade Merah (BM) di tahun 1995. Riset itu menjelaskan, 298 dari 1.214 anggoa BM memiliki hubungan darah atau satu keluarga. Baik sebagai orangtua, ayah, ibu, anak, atau saudara.
Tak hanya itu, riset komisi PBB untuk peristiwa pembajakan pesawat 9/11 pada (11/9/2001) juga mengkonfirmasi fenomena keluarga teroris, di mana 6 dari 19 pembajakan pesawat itu adalah saudaraa.
Baca juga: Menalar Peran Teroris Perempuan di Balik Bom Bunuh Diri Surabaya
Pelaku bom Boston tahun 2012, Tsarnaev bersaudara. Kemudian peristiwa Charlie Hebdo di Perancis ada Kouachi bersaudara, dan pelaku serangan Paris adalah Abdessalam bersaudara. Abu Musab al-Zarqawi juga memanfaatkan ayah mertuanya Yassin Jarrad untuk membawa bom yang membunuh Muhammad Bakr Hakim.
Di Indonesia, tiga pelaku Bom Bali I pada 2002 adalah Ali Ghufron, Amrozi, dan Ali Imron, yang merupakan kakak beradik.
Bagaimana jaringan keluarga teroris terbentuk?
"Untuk membentuk jaringan, faktor kekeluargaan dan pernikahan adalah metode yang paling mudah dilakukan," kata Suratno dalam tulisannya.
Sederhananya, anggota kelompok teroris pertama-tama akan berusaha mengajak saudara mereka untuk bergabung. Cara lain, menikahkan saudara atau anak perempuan dengan teman sesama teroris.
Hal ini dapat dilihat ketika Abdullah Azzam menikahkan anak perempuannya dengan anak didiknya, Abdullah Anas dari Aljazair.
Juga ada Abu Muzab al-Zarqawi yang menikah dengan saudari sahabat dekatnya, Khaled al-Aruri.
"Di Indonesia Ali Ghufron menikah dengan Paridah Abas, saudara perempuan Nasir Abas sesama alumni Afghan. Baridin atau Baharuddin Latif juga menikahkan anak perempuannya Arina Rahma dengan Noordin M Top, dan banyak lagi contoh lainnya," sambungnya.
Menurutnya, kedekatan persaudaraan dan pernikahan lebih efektif digunakan oleh pelaku teroris untuk membentuk jaringan karena adanya pengaruh psikolog yang mengikat dan saling menguatkan satu sama lain.
Saling menguatkan di sini berarti afektif dan kognitif. Afektif karena kedekatan sebagai keluarga. Kognitif karena kedekatan itu dimanfaatkan untuk menjamin loyalitas dan sebagainya.
"Dengan metode itu, mereka bukan saja menjadi (sesama) anggota sebuah kelompok teroris, tapi mereka juga menjadi saudara sekeluarga (a family relative)," imbuhnya.
Selain itu, saat seseorang telah menjadi keluarga maka akan lebih mudan membangun kepercayaan dibanding dengan orang lain.
Dengan kondisi para teroris yang dalam pengawasan aparat, gerak-gerik mereka dibatasi. Sebab itu, mereka harus berhati-hati saat ingin menambah anggota. Maka dari itu, pilihan yang tidak terlalu berisiko adalah memanfaatkan kekeluargaan atau melalui pernikahan.
Mengapa anak-anak dilibatkan menjadi teroris?
Kejadian serupa juga tak hanya terjadi kali ini. Otak pelaku bom Paris, Abdel Abaoud juga mengajak adiknya Younes Abaaoud yang masih berusia 12 tahun saat itu untuk berangkat ke Suriah bergabung dengan ISIS.
Ia juga melibatkan sepupu perempuannya yang berusia belasan tahun, Hasna, untuk menjaga apartemennya di Saint Denis, Paris.
Sejak 2013 hingga 2016, jamak diketahui para ekstremis dari seluruh dunia termasuk Indonesia berangkat ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS. Mereka membawa keluarga, saudara, termasuk anak-anak di bawah umur dan remaja.
"Tentu saja anak-anak dan remaja dikatakan menjadi ekstemis ikut-ikutan karena faktor orangtua mereka. Namun dalam konteks teroris sebagai sebuah kelompok, mereka adalah bagian dari keluarga teroris," jelas Suratno.
Baca juga: Semangat Mengampuni Pelaku Terorisme, Bagaimana Sains Menjelaskannya?
Hal ini juga terjadi pada pelaku bom 3 gereja di Surabaya yang merupakan keluarga. Dita dan Puji mengajak keempat anaknya ke Syiria untuk bergabung dengan ISIS.
Bisa dipahami bahwa selama di Suriah ke-4 anak itu mengalami radikalisasi (dalam level yang mungkin berbeda dengan orang dewasa). Oleh karena itu, ketika kembali ke Indonesia dan Dita sekeluarga merencanakan pengeboman, Dita bisa dengan mudah melibatkan dan memanfaatkan istri serta keempat anaknya untuk terlibat.
(Catatan redaksi: Berdasarkan informasi yang diterima KOMPAS.com dari Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, pihaknya mengklarifikasi bahwa keluarga Dita Oepriyanto tidak pernah ke Suriah namun terkait dengan keluarga lain yang baru saja dideportasi dari Turki).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.