Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Surono: Merapi Selalu Jujur, Tidak Mungkin Meletus Tanpa Tanda

Kompas.com - 11/05/2018, 19:51 WIB
Resa Eka Ayu Sartika,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jumat (11/05/2018) pagi, Gunung Merapi meletus freatik.

Hal ini tidak diperkirakan oleh banyak pihak karena dianggap tidak ada tanda-tanda yang terlihat terkait letusan tersebut.

Dihubungi melalui sambungan telepon pada Jumat (11/05/2018), Surono, ahli vulkanologi memberikan komentar.

"Sebetulnya semua kejadian alam, apakah itu terkait letusan gunung api, gempa bumi, tanah longsor, hujan pasti ada tanda-tandanya," ujarnya.

Ahli vulkanologi ini juga menggambarkan bahwa tidak mungkin terik matahari kemudian tiba-tiba hujan lebat atau gerimis.

"Kecil kemungkinan terjadi, bahkan hampir tidak mungkin," ujarnya.

"Secara ilmu pengetahuan maupun religi, Tuhan Maha Adil memberikan tanda-tanda kejadian alam. Pasti ada," tegasnya.

Menurutnya, masalah yang muncul sebenarnya, kita bisa membaca tanda-tanda tersebut atau tidak.

Surono mengisahkan perubahan Merapi pada tahun 2010.

"Merapi sebelum 2010, kan Merapi jika meletus membentuk kubah lava di puncaknya," kisah Surono.

Tapi pada 2010, Merapi meletus tanpa ada kubah lavanya.

"Nah, pasti akan bisa berbeda tanda-tandanya. Tidak bisa sebagai patokan seperti dulu," ujarnya.

Baca juga: Letusan Freatik Merapi Dilihat dari Luar Angkasa, Inilah Rupanya

"Namun pada dasarnya, seperti yang dituliskan pada hukum-hukum ilmu pengetahuan alam, banyak ditulis berdasarkan kondisi empiris alam," sambungnya.

Dia mencontohkan hukum Newton yang ditulis ketika apel jatuh ke bumi.

"Kan hukum itu ditulis setelah apel jatuh ke bumi, bukan hukum ditulis baru apel jatuh ke bumi," ujarnya.

"Dalam suatu hukum alam yang disebut termodinamika, akhir suatu proses, dalam hal ini letusan gunung api, itu merupakan akhir dari suatu proses kegiatan," katanya.

"Bahwa akhir dari suatu proses dari kejadian alam itu bergantung pada proses saat ini, tidak harus sama dengan masa lalu," sambung Surono.

2010 dulu, ketika berbicara dengan masyarakat, Surono mendapat info bahwa Merapi akan meletus jika terlihat api diam.

Namun, pada 2010, Surono justru mengatakan mungkin api diam tidak akan terlihat tapi langsung meletus.

Apa yang dibicarakan Surono terbukti. Tanpa terlihat api diam, Merapi meletus.

"Sama seperti kondisi yang sekarang ini, bahwa pasti ada tanda-tanda (letusan) sekecil apapun," katanya.

"Oleh karena itu, ada ahli gunung api. Kenapa? Karena kalau hanya dari pengalaman kita hanya perlu pengamat saja," katanya.

"Ahli vulkanologi diperlukan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan," sambungnya.

Menurutnya, ahli mempunyai dasar pengetahuan yang kuat untuk bisa mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut.

Baca juga: Tanpa Pertanda, Lazimkah Letusan Freatik Gunung Merapi?

"Alam itu jujur, misalnya Merapi meletus freatik ya freatik benar. Tidak pura-pura freatik, magmatik, atau freomagmatik," katanya.

"Nah, kita berani jujur atau tidak bahwa ada tanda-tanda seperti ini. Kejujuran inilah yang bisa mendidik masyarakat," sambungnya.

Freatik atau Magmatik?

Ketika ditanya apa jenis letusan Merapi hari ini, Surono menyebut masalahnya kini bukan pada jenis letusan.

Menurutnya, jenis letusan telah selesai pada para ahli yang mengkaji letusan Merapi hari ini.

"Sekarang yang menjadi penting bukan lagi freatik atau magmatik, yang penting adalah bagaimana masyarakat," katanya.

"Sebetulnya ada peringatan dini seperti normal, waspada, siaga, dan awas," imbuhnya.

Peringatan dini ini menurut Surono bukan untuk meramalkan kapan dan seberapa besar letusan gunung api. Melainkan, peringatan dini tersebut adalah tingkat aktivitas gunung api yang merupakan hak masyarakat untuk mengetahuinya dan harus bagaimana mengantisipasi peringatan tersebut.

Surono menganalogikan peringatan dini ini sebagai sinyal kereta.

"Kereta mau lewat aja sinyal pasti dibuka. Sinyal dibuka pasti ada kereta mau lewat, hati-hatilah," ujarnya.

"Kalau sinyalnya tidak dibuka dan keretanya tidak lewat, ya kita tidak bisa mengharapkan kereta itu lewat dan orang-orang akan minggir," imbuhnya.

"Tetapi jika sinyal keretanya tidak dibuka, ujug-ujug kereta nyelonong, saya tidak tahu apakah keretanya yang salah atau masinisnya yang salah, atau yang bikin aturan yang salah."

Inilah yang menurutnya perlu dipahami, sesiap apapun masyarakat menghadapi bahaya, tetapi mereka tetap berhak diberitahu tentang ancaman dan langkah antisipasi.

Surono menegaskan subyek dari mitigasi sebenarnya adalah bagaimana masyarakat secara dini mendapat informasi ancaman bahaya dan cara mengantisipasi.

Status Merapi Normal?

"Kalau gunungnya normal tapi tiba-tiba meletus, orang kan jadi takut. Ini normal beneran atau normal-normalan," kata Surono.

Menurutnya, ini masalah kepercayaan. Surono juga mengisahkan pernah mengalami kejadian semacam ini pada gunung Merapi dulu.

"Beberapa kali, statusnya ini tapi tiba-tiba meletus. Membangun kepercayaan masyarakat jauh lebih sulit daripada gunung apinya itu sendiri," katanya.

"Ingat lho, Merapi itu salah satu laboratorium alam, banyak penelitian di sana," katanya.

Menurut Surono, Merapi adalah gunung api yang dipantau dengan teknologi yang canggih.

"Mungkin tercanggih di dunia, di luar Amerika dan Jepang," katanya.

Baca juga: Ketinggian Erupsi Freatik Merapi Capai 5.500 Meter

Dia juga mencontohkan peringatan yang diberikan seperti orangtua yang memperingatkan anaknya yang hendak pergi ketika melihat langit mendung.

"Ya, tolonglah bawa payung. Kenapa? Ya, kalau hujan bisa dipakai, kalau tidak ya tidak masalah," ujarnya.

"Yang penting ada kesiapsiagaan dan ada warning tadi," tegasnya.

Menurutnya, kalau tidak ada peringatan tapi tiba-tiba ada kejadian, masyarakat sesiap apapun pasti limbung.

"Justru peralatan gunung api dipasang bukan untuk sekedar riset atau gaya-gayaan, tapi lebih dari itu, pesan dari Merapi melalui alat tersebut bisa disampaikan kepada masyarakat agar bisa diantisipasi," katanya.

Surono juga menjelaskan bahwa dalam menjalani profesi harus disertai dengan kecintaan atau passion.

Dengan rasa cinta, perubahan sekecil apapun, bisa teramati. Dalam hal ini, ketika terjadi perubahan pada Merapi bisa dicermati untuk menentukan status peringatan yang diberikan pada masyarakat.

"Kalau tidak ada passion, tidak ada cinta, ya sulit. Apalagi kalau dirasa terpaksa," katanya.

"Harus ada passion, ada curiosity setiap gejala skecil apapun. Memantau gunung api kan bukan untuk gunung api atau ahlinya, tapi untuk masyarakat,"

Pemantauan gunung api subyeknya adalah untuk masyarakat.

"Kalau tidak ada manusianya, mau meletus berapa kali sehari tidak masalah," ujarnya.

Merapi selalu jujur, pasti punya tanda-tanda.

"Saya bahkan selalu mengatakan Merapi itu selalu menepati janji, selalu memberi dan tidak pernah meminta kembali," ujarnya

"Kejujuran Merapi itu pasti," tegasnya.

Untuk itu, Surono menyebut bahwa ahli vulkanologi perlu lebih memperhatikan detail atau tanda sekecil apapun pada gunung api tersebut.

Baca juga: Gunung Merapi Erupsi, Warga Diimbau Tetap Tenang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau