Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sama Sakitnya dengan Serangan Jantung, Nyeri Haid Malah Diabaikan

Kompas.com - 01/03/2018, 18:36 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

Sumber Indy 100

KOMPAS.comHaid atau menstruasi adalah siklus bulanan yang dialami oleh hampir semua perempuan. Sayangnya, "tamu bulanan" ini sering kali datang bersama dengan serangkaian efek yang cukup menyakitkan.

Bahkan, bagi banyak perempuan, menstruasi adalah waktu yang paling tidak menyenangkan. Dari perubahan suasana hati, sakit perut, pegal di persendian, hingga pingsan tak jarang dirasakan.

Efek-efek ini sering disebut dengan dismenore atau nyeri haid. Di antara semua efek yang dirasakan, kebanyakan wanita melaporkan adanya kram di area perut yang benar-benar menyakitkan.

Saking menyakitkannya, dokter di Inggris menyebut bahwa hal ini bisa sama buruknya dengan serangan jantung.

Baca juga: Endometriosis, Nyeri Haid yang Tak Normal

Hal ini disampaikan oleh John Guillebaud, seorang profesor kesehatan di University College London, Inggris. Dalam penelitiannya, Guillebaud menyebut, dismenore atau nyeri haid digambarkan hampir sama buruknya dengan serangan jantung.

Nyeri haid ini mengganggu kehidupan sehari-hari sekitar satu dari 5 wanita di dunia. Sayangnya, banyak dokter menolak untuk memberikan obat untuk hal ini.

Terutama karena, nyeri haid biasanya hilang dengan selesainya masa menstruasi. Kebanyakan dokter hanya menyarankan "obat warung", yaitu ibuprofen untuk meredakannya.

Namun, kadang kala, ibuprofen tidak cukup ampuh untuk meredakan nyeri haid.

Diabaikan perempuan

Namun, meski menyakitkan, perempuan sering kali mengabaikan nyeri haid. Bahkan, menurut penelitian, perempuan baru akan memeriksakan diri ke dokter 65 menit setelah mengalami sakit di area perut. Padahal, laki-laki akan ke dokter setelah 49 menit merasakan sakit perut.

Kebiasaan mengabaikan nyeri haid ini mungkin karena perempuan sering dipandang melebih-lebihkan sakitnya.

Padahal, kebiasaan mengabaikan rasa sakit ini mungkin bisa membawa dampak buruk. Itu karena selain karena haid itu sendiri, penyakit lain kadang baru terasa saat nyeri haid.

Salah satunya adalah endometriosis atau kelainan di mana jaringan rahim (endometrium) berada di luar rahim. Penyakit ini diperkirakan mempengaruhi satu di antara 10 wanita yang berada di masa subur.

Endometriosis sendiri ditandai dengan sejumlah gejala seperti nyeri haid, masalah usus dan kandung kemih, bahkan ketidaksuburan.

Baca juga: Menstruasi Bikin Perempuan Berubah? Penelitian Terbaru Membantahnya

Rata-rata, dibutuhkan waktu 7,5 tahun untuk didiagnosis penyakit ini. Itu karena kurangnya penelitian dan kesadaran, serta perawatannya masih sangat terbatas.

Meski begitu, tapi sebenarnya nyeri haid belum sepenuhnya dipahami.

Diabaikan Medis

Dilansir dari Indy100, Rabu (28/02/2018), seorang peneliti bernama Dr Annalise Weckesser menyebut bahwa budaya diam para perempuan saat nyeri haid ini telah mengakibatkan kondisi terbengkalainya penanganan medis.

"Ada sejarah panjang untuk tidak memandang nyeri haid secara serius dan bahkan menganggapnya sebagai histeria perempuan. Kami tidak membicarakan kesehatan menstruasi, tapi pengetahuan gadis remaja terkait menstruasi sangat buruk," ujar Weckesser.

"Pendapat profesional medis juga dipengaruhi pendapat tentang pengalaman menstruasi tersebut, mereka tidak bisa menentukan apa yang normal dan tidak? Hal inilah yang dipahami oleh perawat dan dokter umum sehingga membuat Anda melihat banyak nyeri haid pada perempuan muda diabaikan," imbuhnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Indy 100
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com