Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biofarma Garap Produk Biosimilar, Tekan Biaya Pegobatan

Kompas.com - 09/02/2018, 12:31 WIB
Shela Kusumaningtyas,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

CIREBON, KOMPAS.com - Biofarma mulai melirik untuk mengembangkan produk biosimilar sebagai alternatif bagi Indonesia lepas dari ketergantungan bahan impor.

Hal ini disampaikan Neni Nurainy, peneliti senior PT Biofarma dalam acara Media Gathering yang dihelat Biofarma di Cirebon pada Rabu (7/2/2018).

“Sayangnya, Indonesia tidak punya industri kimia dasar yang kuat sehingga masih harus impor dari India dan Cina. Jadi, pembuatan biosimilar ini perlu didukung pemerintah maupun swasta untuk pembuatan biosimilar ini,” ujar Neni.

Biosimilar sendiri merupakan obat yang dibuat dengan meniru obat paten (originator) yang telah memasuki tahap berakhir patennya.

Berbeda dengan obat paten yang terbuat dari bahan kimia, obat biosimilar dihasilkan dari makhluk hidup yang memiliki kandungan serupa dengan bahan kimia.

Sejak tahun 2016, Biofarma telah memulai mengembangkan produk biosimilar, meski langkah ini terbilang terlambat menurut Neni.

Pasalnya, obat kanker payudara atau trastuzumab yang patennya berlaku hingga tahun 2019 di Eropa, sedangkan kesadaran membuat produk ini baru muncul tiga tahun sebelumnya.

Baca juga : Sering Wisata ke Luar Negeri? Anda Perlu Vaksin Flu Segera

Sebagai antibodi monoklonal, terapi kanker payudara menggunakan produk biosimilar trastuzumab dinilai akan lebih tepat sasaran dalam membunuh penyakit.  

Protein antibodi akan bertugas menyerang kanker langsung pada permukaan. Protein tersebut memiliki "kepala" untuk menangkap penyebab kanker. Lalu ekornya mengirim sinyal kepada imun untuk membunuh kanker tersebut.

“Ini lebih efektif dibandingkan pengobatan dengan kemoterapi yang radikal. Kemoterapi membuat sel normal lain ikut terbunuh,”  kata Neni.

Kemoterapi memberantas sel-sel kanker yang perkembangannya sangat cepat. Namun terapi ini tidak sanggup mengenali sel normal yang berkembang cepat dan sel kanker yang berbiak dengan cepat juga. Akibatnya, sel normal ikut terdampak. Sementara obat biosimilar mampu memetakan sel yang harus dilawan dan tidak.

Biosimilar lain yang akan digarap Biofarma adalah eritropoitein. Obat ini mendorong produksi sel darah merah dalam tubuh. Di Amerika Serikat, originator eritropoitein masa patennya hanya sampai tahun 2024.

“Biosimilar eritropoiten ini penting sekali bagi penderita gagal ginjal dan kemoterapi. Proses cuci darah rutin ini memerlukan biaya mahal,” kata Neni.

Neni berharap, dengan adanya biosimilar yang diproduksi dapat menekan 50 persen hingga 70 persen harga obat-obat terapi penyakit berat yang mahal.

Trastuzumab yang dipatok harga Rp 21 juta per vialnya misalnya, untuk satu kali pengobatan bisa memakan biaya 150 juta rupiah hingga 200 juta rupiah.

Selain biosimilar, Biofarma akan fokus mengembangkan produk darah seperti albumin, antiserum, dan vaksin.

Baca juga : Viral Kisah Komplikasi Jantung akibat Vaksin Difteri, Ini Kata Ahli

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com