Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cacing Laut Tanpa Anus Bukti Belum Meratanya Evolusi di Bumi

Kompas.com - 22/12/2017, 18:05 WIB
Michael Hangga Wismabrata

Penulis


KOMPAS.com - Ternyata evolusi makhluk hidup di Bumi tidak merata. Contohnya cacing laut ini, yang masih saja tidak memiliki anus untuk buang air besar.

Padahal, umumnya makhluk hidup di bumi saat ini sudah memiliki organ yang kompleks seperti sistem saraf, ginjal, atau anus. Tapi ini berbeda pada cacing laut bernama Xenoturbella japonica yang ditemukan peneliti dari Jepang di dasar laut Pasifik Barat.

Cacing laut tersebut merupakan anggota genus Xenoturbella yang tinggal di dasar laut dan merupakan spesies keenam yang ditemukan dari genus ini, sehingga lebih mudah dipelajari.

Ada dua spesimen cacing laut yang ditemukan, satu jenis betina dewasa dengan ukuran kurang lebih 5 sentimeter dan satunya berukuran lebih kecil, 1 sentimeter. Warnanya oranye pucat, memiliki mulut berbentuk oval dan jaringan kelenjar pada permukaan bawah.

Baca Juga: Cacing Misterius Ini Punya Mulut yang Juga Berfungsi sebagai Anus

Seperti diketahui, genus ini dikenal aneh dan misterius. Saat pertama kali ditemukan pada tahun 1915, peneliti tidak mampu memberikan penjelasan hingga tahun 1949.

Saat itu penjelasannya hanyalah seekor cacing kecil seperti kantong tanpa organ, tidak ada sistem peredaran darah, tidak ada sistem pernapasan, tidak ada kelenjar reproduksi dan anus. Peneliti meyakini lobang mulut untuk makan juga berfungsi sebagai anus untuk membuang kotorannya.

Peneliti pada saat itu juga kebingungan untuk membuat klasifikasi cacing laut tersebut. Pernah akan diklasifikasikan dalam kelas moluska, karena saat dites DNA moluska muncul. Tetapi, ternyata penelitian selanjutnya menunjukan bahwa itu adalah makanan cacing.

Pencerahan akhirnya diperoleh peneliti pada penemuan 2016. Tim peneliti menemukan empat spesies baru Xenoturbella di Pasifik timur. Penemuan ini membantu peneliti menempatkan makhluk tersebut pada pohon kehidupan.

Cacing laut masuk dalam bilateria basal Xenacoelomorpha, yang mengandung Xenoturbella dan Acoelomorpha.

Bilateria adalah kelompok hewan paling kompleks yang bilateral simetris. Dia memiliki ujung depan dan belakang, juga sisi atas dan sisi bawah, paling tidak pada masa pertumbuhannya. Bentuk ini sangat primitif dari bilateria, namun penemuan tersebut bisa memberi informasi bagaimana evolusi terjadi.

Lalu, makhluk ini cenderung hidup di perairan yang dalam dan hal ini diakui cukup menyulitkan peneliti. Untuk itu, penemuan Xenoturbella japonica menjadi keuntungan tersendiri bagi peneliti.

Baca Juga: Temuan Terbaru, Cacing Tanah Bisa Hidup di Tanah Mars

Untuk memastikan bahwa X. japonica adalah spesies baru dalam ilmu pengetahuan, tim menggunakan teknik yang sebelumnya tidak digunakan pada pemindaian Xenoturbella, yaitu pemindaian MicroCT.

Hasilnya, peneliti menemukan fitur baru yang belum pernah diamati sebelumnya yaitu sebuah pori depan yang terhubung ke jaringan kelenjar hewan. Peneliti masih belum mengetahui apa fungsi organ tersebut.

"Kami juga mengekstrak DNA dan mengurutkan genom mitokondria dan urutan gen histon H3 parsial. Analisis filogenetik molekuler memastikan bahwa X. japonica berbeda dari spesies Xenoturbella yang telah dijelaskan sebelumnya," kata Hideyuki Miyazwa, salah satu rekan penulis, dikutip dari Sciencealert pada hari Rabu (20/12/2017).

Setelah dikonfirmasi ada perbedaan dengan spesies sebelumnya, peneliti membagi dua subkelompok dari spesies lain Xenoturbella, subkelompok "dangkal" dan "dalam".

X. japonica ternyata juga memiliki karakteristik yang sama dengan kedua hewan di subkelompok tersebut.

X. japonica ditemukan pada kedalaman rata-rata 380-560 meter. Ini sama seperti hewan di subkelompok dangkal. Tetapi X. japonica juga memiliki sistem kelenjar ventral seperti subkelompok dalam. Panjang tubuhnya kisaran antara keduan subkelompok, meski mungkin saja spesies baru masih belum mencapai ukuran sebenarnya saat dewasa.

Baca Juga: Lawan Kuman Super, Kini Peneliti Mengandalkan Cacing

Hal ini bisa menunjukkan bahwa beberapa karakteristik mungkin bersifat turunan dan eksklusif untuk genus, dan X. japonica bisa menjadi kunci untuk menggali lebih dalam tentang sejarah genus, dan sejarah awal bilaterians.

"Spesies baru ini menjanjikan berharga untuk penelitian masa depan mengenai evolusi bilaterian dan deuterostome," kata pemimpin penulis Hiroaki Nakano. Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal BMC Evolutionary Biology.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com