KOMPAS.com - Bicara politik dengan orang lain terkadang bisa berujung percekcokan bahkan perkelahian. Apa yang mereka pikirkan hingga tega saling hantam dan melukai pendukung lawan partai politiknya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sekelompok peneliti otak dan saraf di Universitas California (USC) melakukan studi pencitraan resonansi magnetik (MRI).
Hasilnya, kata ahli saraf di Institut Otak dan Kreativitas di USC, sangat relevan dalam menjelaskan respons otak seseorang saat menanggapi berita politik, palsu atau kredibel, selama pemilihan umum.
Dalam studi ini, 40 orang yang dianggap sebagai kaum liberal diperiksa melalui MRI fungsional untuk mengetahui bagaimana otak mereka merespons ketika keyakinan politis mereka dipertanyakan.
Baca Juga: Situasi Politik Bikin Banyak Orang Stres
Selama penelitian, para peserta diberi delapan pernyataan politik dan pernyataan non-politik yang mereka percaya beserta dengan lima klaim yang melawannya.
Para peserta kemudian diminta memberikan nilai dari skala satu sampai tujuh untuk menunjukkan seberapa kuat kepercayaan mereka terhadap masing-masing pernyataan setelah membaca klaim yang melawannya.
Selama eksperimen ini, para ilmuwan memindai otak para partisipan.
Hasilnya, seorang pendukung politik lebih fleksibel saat menanggapi isu yang tidak berbau politik, misalnya ketika dimintai pendapat tentang topik Albert Einstein adalah fisikawan terbesar abad ke-20.
Sebaliknya, saat ditanya tentang isu politik yang menyerang keyakinan politik mereka, seperti hukum kepemilikan senjata, seorang pendukung politik berubah menjadi keras kepala dan tidak fleksibel.
Baca Juga: Apa yang Terjadi Pada Otak Saat Kita Tidur? Sains Menjawabnya
Kekerasan kepala ini tergambar pada otak mereka. Orang-orang yang sulit berubah ditemukan memiliki lebih banyak aktivitas otak di bagian amigdala dan korteks insular.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.