SINGAPURA, KOMPAS.com –- Kanker dalam berbagai bentuknya menjadi penyakit yang menakutkan di seluruh dunia. Bagi orang yang mengidap kanker, perkembangan sel tak terkendali yang berada di tubuh manusia itu dapat berujung pada kematian.
Di antara semua jenis kanker, kanker paru merupakan yang paling banyak dijumpai.
Penyakit ini dapat dibagi menjadi dua: kanker paru sel kecil (SCLC) dan non sel-sel kecil (NSCLC). Persentase kemunculan SCLC sebesar 15 persen dari semua kasus kanker paru, sedangkan NSCLC sebesar 80-85 persen.
Kemudian, NSCLC terbagi mejadi beberapa bagian. Adenocarcinoma sebesar 40 persen, squamous cell carcinoma sebesar 30 persen, dan large cell carcinoma sebesar 10 persen.
Baca juga : Kanker Paru, Mengapa Sulit Terdeteksi?
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, hampir 1,7 juta orang terdiagnosis mengidap kanker paru pada tahun 2015. Angka kematiannya pun tidaklah sedikit. World Cancer Research Fund menyatakan bahwa setiap tahunnya, 1,59 juta orang meninggal akibat penyakit ini.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa meski Anda terdiagnosis memiliki kanker paru, hidup tak berakhir begitu saja. Serangkaian pengobatan masih dapat dilakukan, setidaknya untuk memperpanjang angka harapan hidup.
Pengobatan Kanker Paru
Bentuk pengobatan kanker paru dipengaruhi oleh stadium kanker yang berada di tubuh pasien, yakni stadium 1 hingga 4, antara lain adalah operasi bedah, radioterapi, kemoterapi, imunoterapi, dan terapi yang ditargetkan (targeted therapy).
Dr Sita Andarini, PhD, SpP(K) mengatakan, bedah dapat menyembuhkan pasien kanker paru. Namun, syaratnya kanker masih berada pada stadium awal, yakni stadium 1, stadium 2, dan stadium 3A.
“Apakah setelah bedah nanti dikemoterapi atau apa, tapi untuk bedah bisa dilakukan pada stadium dini,” kata Sita saat ditemui di sela acara European Society for Medical Oncology (ESMO) Asia 2017, Suntec Convention Center, Singapura, Sabtu (19/11/2017).
Sementara itu, pengobatan radioterapi hanya menjangkau secara lokal, tetapi tidak dapat menyembuhkan. Hal ini juga serupa dengan kemoterapi yang bersifat paliatif. Artinya, pasien tak dapat mengharapkan kesembuhan melainkan memperpanjang angka ketahanan hidup dan kualitas hidup.
Baca juga : Imunoterapi untuk Kanker Paru Kini Tersedia di Indonesia
Kemudian, dalam tiga tahun terakhir pengobatan imunoterapi menjadi hangat di kalangan dunia medis. Cara kerjanya, sel imunitas dibangunkan untuk mengatasi sel kanker.
Menurut Sita, potensi antigenik pada pada kanker paru terbilang tinggi. Urutan pertama ditempati oleh kanker melanoma, disusul oleh kanker paru jenis NSCLC, dan kanker paru jenis SCLC.
Sebelum dilakukan imunoterapi, pasien menjalami pemeriksaan penanda biologis (biomarker). Pasien dibiopsi dengan pemeriksaan patologi, sitologi dan sitopatologi. Lalu, dokter akan melihat ekspresi programmed cell death ligand (PD-L1) pada permukaan sel kanker. PD-L1 berfungsi untuk menghindar dari sistem kekebalan tubuh.
“PD-L1 sebagai indikator. Kalau tinggi bisa memiliki respons yang baik terhadap imonoterapi,” kata Sita.
Prosedur pengobatan kanker paru lainnya adalah targeted therapy. Setiap pasien akan mendapatkan pengobatan yang berbeda yang disesuaikan dengan marker molekuler. Dalam dunia medis, hal ini dikenal juga dengan istilah personalized medicine.
“Kalau dulu NSCLC dan SCLC langsung diberikan kemoterapi, semuanya sama. Perbedaannya dari fenotipe kanker itu. Tapi sekarang semua terapi itu berdasarkan genotipenya karena ada perbedaan genotipe kanker paru,” kata Sita.
Baca juga : Tak Bergejala, Kanker Paru Baru Ditemukan di Stadium Lanjut
Sita menuturkan, penelitian targeted therapy banyak ditemui untuk adenokarsinoma. Dalam konteks Asia, salah satu genotipe yang paling sering didapatkan adalah mutasi Epiderma Growth Factor Receptop (EGFR). EGFR berperan dalam pertumbuhan sel kanker.
Sita menuturkan, dalam konteks Indonesia, pada tahun 2013 terdapat 42 persen mutasi EGFR pada kanker paru. Setelah perbaikan teknik, diketahui bahwa terjadinya mutasi EGFR lebih banyak. Untuk di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, misalnya, mutasi EGFR sebanyak 61 persen.
Selain EGFR, penggerak mutasi lainnya adalah Anaplastic Lymphoma Kinase gene (ALK), Mesenchymal-epithelial transition gene (MET), dan Kristen rat sarcoma gene (KRAS).
“Orang Indonesia yang punya kanker paru jenis adenokarsinoma wajib dilakukan pemeriksaan mutasi EGFR. Kalau pasien mutasi EGFT di ekson 19 dan 21, maka kemungkinan besar dia punya respons baik terhadap obat EGFR TKI (tyrosine kindness inigiter),” kata Sita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.