Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pekerjaan Rumah Menanti setelah Pengakuan pada Penghayat Kepercayaan

Kompas.com - 21/11/2017, 19:23 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Asosiasi Antropolog Indonesia (AAI) dan Antropolog untuk Indonesia (AuI) meminta kepada pemerintah untuk segera membuat aturan maupun meyelerasakan kebijakan.

Hal ini terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

Majelis hakim berpendapat, kata “agama” pada pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, penganut kepercayaan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan enam agama lainnya.

Salah satu pendukung AuI, R. Yando Zakaria mengatakan, penyelarasan aturan diperlukan bagi pengayat kepercayaan, baik dalam bidang pendidikan, sosial-politik, hukum, dan ekonomi.

“(Pemerintah dapat) melibatkan para pakar terkait berbagai bidang yang memahami konteks implementasi dari putusan MK secara komprehensif dan holistik,” kata Yando saat membacakan pernyataan sikap di Komnas HAM, Jakarta, Selasa (21/11/2017).

Menurut Yando, pemerintah dapat melaksanakan putusan MK terkait pelayanan publik yang telah lama tertunda. Misalnya, terkait penulisan identitas dalam berkas pemerintahan dengan menuliskan agama atau kepercayaan sesuai individu yang mengamalkannya.

Yando menilai, perdebatan konsep agama dan kepercayaan hanya akan melanggengkan diskriminasi hukum dan sosial. Untuk itu, ia berharap putusan MK dapat menghilangkan diskriminasi dan stigmatisasi yang mengatasnamakan perbedaan keyakinan atau agama.

Baca Juga : Sebuah Agama Baru Telah Lahir, Inilah Falsafah, Tuhan dan Ajarannya

“Bukan mengklasifikasikannya ke dalam penyebutan yang justru akan menimbulkan masalah diskiriminasi baru,” kata Yando.

Wakil Ketua Komnas Ham Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga mengatakan, terdapat indikasi pelanggran HAM dengan tidak diakuinya penghayat kepercayaan. Temuan itu diantaranya didapat dari kajian bidang Kebebasan Beragama dan Bereskpresi (KBB) dan pelapor khusus untuk masyarakat adat.

Sandrayati menuturkan, tidak diakuinya agama leluhur tak hanya terkait dengan aktivitas peribadatan. Melainkan juga terkait pemenuh hak sipil dan politk waraga negara.

“Ada kebutuhan untuk segera ditindaklanjuti putusan ini dengan kebijhakan yang lebih implementatif, tapi yang tidak kalah pentingnya adalah remedy atas pelanggaran HAM yang selama ini terjadi,” kata Sandra.

Sementara itu, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto mengatakan, landasan hukum bagi para penghayat kepercayaan merupakan bagian dari HAM. Ia menilai, penantian kepastian hukum telah berlangsung sepanjang Indonesia meredeka.

Sulistyowati bercerita, hal ini pernah diaami oleh masyakat adat yang kehilang tanah ulayat karena tidak memiliki kesamaan hak di mata hukum. Karena tidak termasuk ke dalam enam agama, hakim tidak mengakui kesaksian penghayat kepercayaan akibat tidak adanya kitab suci yang dapat digunakan untuk bersumpah.

“Hakim berpendapat kesaksianya bisa diabaikan. Itu sebabnya ada kelompok masyarakt ada yang berperkaran di pengadilan kehilangnan tanah ulayatnya, karena kesaksian orang yang tahu sejarah adat itu diabaikan,” kata Sulistyowati.

Secara sosiologis, Sulistyowati mengatakan, Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Ratusan suku bangsa lebih dulu ada dan berkelindan dengan kelompok penghayat. Dengan demikian, Negara Kesatuan RI bukanlah identitas tunggal.

Baca Juga : Selama Ribuan Tahun, Mengapa Manusia Percaya Agama?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com