Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Verrianto Madjowa
Penulis

Pengamat kelautan dan perikanan. Menulis buku tentang Kelautan dan Perikanan, Bunaken, Tambang (2001), Open Data Pemilu (2015), Pemilu Gorontalo (2015), dan sejarah Gorontalo.

Apa Kabar Ikan Raja Laut, Hewan Purba di Laut Sulawesi?

Kompas.com - 21/11/2017, 18:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorYunanto Wiji Utomo

LAMA tak terdengar, ternyata ikan purba raja laut, yang menarik perhatian banyak kalangan pada dua dekade lalu telah tercemar sampah plastik.

Prof Dr Markus T Lasut, MSc, dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan (FPIK) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), mengatakan, "Secara tidak disengaja, telah ditemukan plastik di dalam usus besar spesimen fosil hidup ikan raja laut, Latimeria menadoensis."

Sebagai salah satu bentuk dan upaya mitigasi terhadap polusi sampah plastik di Indonesia, pada Kamis 23 November 2017, dilaksanakan workshop terkait hal itu di aula FPIK-Unsrat.

Ikan raja laut (Coelacanth) disebut sebagai fosil hidup atau ikan purba. Disebut fosil hidup karena tidak berubah sejak 400 juta tahun lalu.

Ikan ini menjadi populer setelah ditemukan di Pulau Manado Tua, pada 1997 dan 1998.

Pandangan Wallace tentang geologi Celebes

Sebelum mengurai kembali temuan ikan raja laut, marilah sejenak kita buka catatan-catatan naturalis Alfred Russel Wallace di Celebes (Sulawesi) satu setengah abad lalu.

Bagi seorang ahli geologi, Wallace menjelaskan, apabila mengadakan eksplorasi di permukaan bumi, ia dapat membaca masa lampau bumi dan dapat memperkirakan gerakan terakhir, ke atas atau ke bawah permukaan laut.

Tetapi bila seorang ahli geologi berada di samudra dengan hamparan laut, ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menduga-duga sejarah tempat tersebut berdasarkan data yang terbatas.

DOK. PROF MARKUS LASUT Ikan raja laut dengan sampah plastik dalam perutnya

Dalam hal ini, naturalis dapat membantu dan memungkinkan ahli geologi mendapatkan jawaban tentang sejarah bumi ini.

Tentunya, kondisi seperti yang disebutkan Wallace berbeda dari sekarang. Meski tetap ada keterbatasan dalam melakukan penjelajahan dan eksplorasi bawah laut, kondisi sekarang sudah banyak kemajuan dalam melakukan eksplorasi bawah laut.

Dari sekian banyak gagasan yang telah dituliskan Wallace, yang jarang dikutip adalah tentang keberadaan Celebes yang bisa jadi merupakan salah satu bagian tertua dari Kepulauan Nusantara.

Wallace menjelaskan bahwa kemungkinan besar Celebes terbentuk bukan hanya sebelum pemisahan Sumatera, Borneo, dan Jawa dari benua Asia, tetapi dari periode yang lebih jauh lagi di masa lampau, saat daratan yang membentuk ketiga pulau tersebut belum naik ke atas permukaan laut.

Umur Celebes yang sangat tua, menurut Wallace, penting untuk dikaitkan dengan bentuk-bentuk hewan di pulau Celebes yang tidak menunjukkan persamaan dengan karakteristik India atau Australia, tetapi lebih dekat dengan Afrika.

Manado Tua dan ikan raja laut

Pulau Manado Tua terletak di dalam kawasan Taman Nasional Bunaken di Laut Sulawesi. Pulau ini memiliki gua-gua vulkanik di bawah laut.

Banyak jenis ikan di terumbu karang dan yang hidup di kedalaman 80 sampai 100 meter dapat dijangkau dengan jaring.

Pada September 1997, ikan raja laut ini masuk ke jaring nelayan di Pulau Manado Tua, Lameh Sonathan.

Ikan itu kemudian dijual di Pasar Bersehati Manado dan dibeli Rp 25.000. Nama ikan raja laut merupakan sebutan tibo-tibo (pedagang ikan) yang sering membeli hasil tangkapan Lameh.

Selanjutnya, keluarga Lameh didatangi peneliti Dr Mark V Erdmann. Erdmann membawa foto ikan raja laut seperti yang dijual September 1997 di Pasar Bersehati. Kemudian, Erdmann memberikan alamatnya di sebuah cottage di Pangalisang.

Selain Lameh, tetangganya Maxon, yang juga nelayan menerima foto tersebut.

Tim peneliti Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan preservasi dan pengamanan sampel ilmiah ikan coelacanth (Latimeria menadoensis) di Seaworld, Ancol, Jakarta, Selasa (11/8/2008). Ikan purba yang ditemukan di perairan Talise, Manado, Sulawesi Utara, pada November 2008 itu akan diteliti untuk memperoleh data ilmiah mengenai morfometri (panjang), genetika, patologi (penyakit), nutrisi, histologi, dan reproduksi.KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Tim peneliti Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan preservasi dan pengamanan sampel ilmiah ikan coelacanth (Latimeria menadoensis) di Seaworld, Ancol, Jakarta, Selasa (11/8/2008). Ikan purba yang ditemukan di perairan Talise, Manado, Sulawesi Utara, pada November 2008 itu akan diteliti untuk memperoleh data ilmiah mengenai morfometri (panjang), genetika, patologi (penyakit), nutrisi, histologi, dan reproduksi.
Awal tahun 1998, Erdmann menerima dana penelitian dari National Geographics untuk meneliti keberadaan Coelecanth di Sulawesi Utara.

Erdmann mewawancarai 200 nelayan dan yang mengaku pernah melihat ikan itu, hanya empat orang.

Ada yang memberi nama ikan raja laut, ada juga yang menyebut ikan cede. Ikan cede dengan nama ilmiah Ruvettus pretiosus ternyata bukan Coelecanth.

Namun, ikan ini diduga menjadi indikator keberadaan Coelecanth di perairan dalam.

Pada 29 Juli malam, Lameh dan anaknya Charles melaut. Jaring dilepas dengan menggunakan pemberat ke perairan dalam.

Ikan raja laut masuk dalam jaring. Ikan ini ditangkap di perairan depan kampung Papindaang, Desa Manado Tua I, di kedalaman 80 meter.

Tiba di rumah, ikan itu dicocokkan dengan foto pemberian Erdmann. Rupa ikan itu mirip dengan yang ada di foto.

Bergegaslah Lameh dan Charles menuju ke tempat tinggal Erdmann di Pangalisang pada 30 Juli. Ikan yang dibawa Lameh memiliki panjang 1,24 meter dan berat 29 kilogram.

Pada 30 Juli 1998, Erdmann baru bisa memastikan bahwa Coelecanth memang ada di Sulawesi Utara.

Setelah Erdmann mengidentifikasi dan memopulerkan ikan raja laut dari Manado Tua, banyak turis yang menanyakan ikan itu.

Setelah temuan ikan itu, kampanye pelestarian ikan raja laut dilakukan, juga pertemuan dengan Balai Taman Nasional Bunaken dan pengusaha jasa wisata selam.

Ikan purba ini menjadi perhatian ilmuwan kelautan. Peneliti dan turis ingin melihat dan membeli ikan itu dengan harga tinggi.

Coelacanth di Komoro

Pada mulanya, ikan Coelacanth hanya dikenal hidup di Kepulauan Komoro, berjarak sekitar 10.000 kilometer dari Pulau Manado Tua.

Coelacanth (Pisces latimeriidae) pertama kali muncul dalam kehidupan sekitar 400 juta tahun silam dalam bentuk fosil. Sampai 70 juta tahun lalu, ikan ini tidak ditemukan lagi.

Para ahli menduga ikan itu telah punah. Ikan purba ini panjangnya mencapai 2 meter dengan berat 100 kilogram. Ikan ini tidak bertelur, tetapi melahirkan anak.

 

Pengunjung melihat replika ikan purba jenis coelacanth yang dikenal sebagai sea king (Latimeria menadoensis) pada Pameran Iptek dan Industri Bahari 2008 di Surabaya, yang berlangsung sampai Minggu (8/6/2008). Ikan langka dari zaman prasejarah yang ditemukan di perairan Sulawesi Utara itu kini menjadi simbol kekayaan bahari Indonesia untuk dunia ilmu pengetahuan.KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Pengunjung melihat replika ikan purba jenis coelacanth yang dikenal sebagai sea king (Latimeria menadoensis) pada Pameran Iptek dan Industri Bahari 2008 di Surabaya, yang berlangsung sampai Minggu (8/6/2008). Ikan langka dari zaman prasejarah yang ditemukan di perairan Sulawesi Utara itu kini menjadi simbol kekayaan bahari Indonesia untuk dunia ilmu pengetahuan.
Pada 1938, Coelecanth pernah menjadi perhatian para ahli kelautan lantaran ditemukan lagi fosil hidup di Mozambik. Setelah Mozambik, ikan ini ditemukan lagi di Pulau Komoro.

Coelecanth termasuk ikan yang malas bergerak. Ciri fisiknya berbeda dari kebanyakan ikan yang umumnya hanya memiliki enam sirip.

Coelecanth mempunyai tujuh sirip. Masing-masing di bagian depan bawah dua sirip, atau dua sirip dan sirip ekor agak bulat.

Ciri lainnya, sirip ikan ini memiliki daging. Sisiknya berduri dengan warna coklat berbintik putih.

Habitat ikan ini di laut Afrika, dengan nama ilmiah Latimeria chalumnae, hidup di kedalaman 100 meter pada suhu air 18 derajat Celcius. Raja laut mencari makan di malam hari.

Sebaran ikan raja laut ada di perairan Kenya, Tanzania, Komoro, Mozambik, Madagaskar dan Afrika Selatan. Riset selanjutnya, ikan raja laut juga ditemukan di Buol, Sulawesi Tengah, dan di Biak, Papua.

Laut Sulawesi termasuk dalam Kawasan Segitiga Terumbu Karang (The Coral Triangle) yang memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi.

Kawasan ini memiliki permodelan yang khas di darat dan laut, yang dikenal dengan garis Wallace dan Arlindo (Arus Lintas Indonesia, Indonesian Through Flow).

Ikan raja laut bisa saja terbawa arus. Namun, catatan menarik dari temuan ikan raja laut ini mengindikasikan terdapat ruang hidup yang sama di Laut Afrika dan Laut Sulawesi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau