Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selama Ribuan Tahun, Mengapa Manusia Percaya Agama?

Kompas.com - 17/11/2017, 12:10 WIB
Michael Hangga Wismabrata

Penulis

KOMPAS.com- Darimana asalnya iman seseorang? Apakah lahir dari dorongan hati dan olah pikiran seseorang? Studi terbaru menunjukan bukan dua-duanya. 

Pandagan umum dalam psikologi menyatakan, iman seseorang merupakan bentuk dari dorongan intuisi.

Namun, hal tersebut dibantah dalam studi terbaru yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Oxford.

Peneliti melakukan tiga percobaan. Eksperimen pertama dilakukan pada 89 peziarah Camino de Santiago.

Peneliti menanyakan kepercayaan para peziarah dan lama mereka berziarah. Para peziarah juga menjawab pertanyaan yang menilai tingkat pemikiran logis dan intuisi.

Hasilnya, tidak ada hubungan antara keyakinan agama dan intuisi.

Uji coba kedua dilakukan terhadap 37 orang dari Inggris. Mereka harus mencoba memecahkan teka-teki matematika yang dirancang untuk mengukur intuisi, dan juga menilai tingkat kepercayaan supranatural mereka.

Namun, penelitian membuktikan, tidak ada hubungan antara keduanya.

Baca Juga: Agama Gajah Mada dan Majapahit yang Sebenarnya Akhirnya Diungkap

Yang terakhir, peneliti mencoba menganalisa apa yang ada di dalam otak para 'orang beriman' tersebut.

Elektroda dipasang pada 90 kepala relawan. Lalu, untuk merangsang lonjakan kognitif, peneliti mengaktifkan rifG (right Inferior Frontal Gyrus) peserta.

Sebelumnya, ada penelitian yang mengemukakan bahwa pemikiran analitis dapat menghambat kepercayaan supranatural.

Penelitian pencitraan otak tesebut telah mengindikasikan rIFG, yang terletak di lobus frontal otak, berperan dalam penghambatan ini.

Namun, penelitian tidak membuktikan adanya perubahan kepercayaan pada sesuatu yang supranatural akibat pengaktifan rifG.

Oleh karena itu, terlalu dini untuk mengatakan keimanan seseorang berasal dari dorongan perasaan maupun pikiran logika.

"Keyakinan agama kemungkinan besar berakar pada budaya dan bukan pada intuisi primitif," kata Miguel Farias, dosen dan direktur studi psikologi di Universitas Oxford, seperti dikutip di Livescience.

Sementara itu, Nathan Cofnas, seorang mahasiswa doktor filsafat di Universitas Oxford yang tidak terlibat dalam penelitian, penemuan tentang keimanan tersebut masih belum final.

Baca Juga: Seperti Inilah Gambaran Otak Seorang Ekstremis Agama

Menurutnya, ada studi lain yang menunjukkan bahwa religiusitas merupakan bentuk warisan.

"Kami tahu dari penelitian orang kembar, gen cenderung memiliki pengaruh lebih besar daripada lingkungan terkait apakah seseorang menjadi religius atau tidak saat usia dewasa," katanya.

Untuk itu, pasti terjadi beberapa mekanisme psikologis yang bervariasi di antara orang-orang dan dikaitkan dengan tingkat religiusitas yang berbeda.

Lain lagi dengan penganut atheis yang dianggap lebih pintar dari orang-orang religius.

"Alasan untuk ini tidak sepenuhnya jelas, tapi mungkin saja orang yang lebih cerdas cenderung menolak agama setelah melakukan olah pikiran yang rasional," kata Cofnas.

Mungkin benar bahwa faktor sosial dan pendidikan memainkan peran penting dalam kepercayaan religius seseorang, namun tidak menutup kemungkinan faktor dasar kognitif inti juga berperan serta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com