Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/10/2017, 21:06 WIB
Tim Cek Fakta

Penulis

Tanggapan ahli

Akan tetapi, soal kerupuk seblak kenyal yang menjadi pemicu usus buntu dalam kasus ini, ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Hardinsyah mengatakan tak masuk akal.

"Pertama, kok enggak masuk akal, dalam arti makanan itu masuk ke lambung kita itu dicerna dan dihancurkan. Kemudian masuk ke usus sudah partikel kecil, kecuali kalau dia batu atau biji jambu yang keras," kata Hardinsyah dihubungi Kompas.com, Selasa (10/10/2017).

Menurut Hardinsyah, kerupuk seblak yang berasal dari tapioka (aci) tentu sangat bisa diproses dalam lambung.

"Daging saja ada yang lebih kenyal, seperti kikil, bisa diproses. Karena ada enzim-enzim di dalam lambung kita. Ada enzim untuk mencerna protein, lemak, karbohidrat," katanya.

"Kalau mungkin ada endapan sebelumnya, harusnya dokter bisa menjelaskan," jelas Hardinsyah.

Dia memberi contoh, misalnya endapan itu berasal dari sambal yang cabainya tidak ditumbuk sampai halus sehingga ada biji cabai yang mengendap dan menginfeksi usus.

Selain itu, perlu diperhatikan pula kebiasaan si anak dalam mengonsumsi makanan dan minuman.

"Kita enggak tahu juga kan, mungkin ini puncaknya saja. Proses terjadi dulu-dulu, (tapi) belum terasa benar. Kita kan enggak tahu kebiasaan makan si anak. Harus didalami, entah ada bahan-bahan berbahaya yang termakan," ujar Hardinsyah.

Sementara itu, ketika ditanya bahan berbahaya seperti pewarna makanan pada kerupuk yang berpotensi mengganggu pencernaan, Hardinsyah menuturkan bahwa tentu saja pembuktiannya harus melalui uji laboratorium terlebih dahulu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

HOAKS ATAU FAKTA?

Jika Anda mengetahui ada berita viral yang hoaks atau fakta, silakan klik tombol laporkan hoaks di bawah ini

closeLaporkan Hoaks checkCek Fakta Lain
Berkat konsistensinya, Kompas.com menjadi salah satu dari 49 Lembaga di seluruh dunia yang mendapatkan sertifikasi dari jaringan internasional penguji fakta (IFCN - International Fact-Checking Network). Jika pembaca menemukan Kompas.com melanggar Kode Prinsip IFCN, pembaca dapat menginformasikannya kepada IFCN melalui tombol di bawah ini.
Laporkan
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com