KOMPAS.com – Akhir tahun 2016 silam, tepatnya 17-24 Desember 2016, lebih dari 40 orang peneliti diaspora yang mengajar dan meneliti di berbagai negera datang ke acara Visiting World Class Professor.
Acara itu diselenggarakan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bekerjasama dengan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional.
Salah satu peserta adalah Dwi Hartanto. Ia juga disebut sebagai “Penerus Habibie”, Presiden Ke-3 Indonesia dan tokoh besar dalam bidang teknologi. Tapi ternyata semua yang dikatakan Dwi dalam berbagai kesempatan cuma klaim.
Melalui klarifikasi dan permohonan maaf yang diunggah di situs Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Delft, Dwimemberikan klarifikasi soal sejumlah klaimnya.
Ia mengatakan, ia bukan lulusan Tokyo University, tetapi Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta dengan Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri.
Dwi sempat mengaku sebagai post-doctoral Asisten Profesor di Technische Universiteit (TU) Delft dalam bidang aerospace. Ia mengatakan, penelitiannya adalah tentang teknologi satelit dan pengembangan roket.
Nyatanya, Dwi merupakan mahasiswa doctoral di TU Delft. Topik penelitian Dwi sesungguhnya dalam bidang intelligent systems, khususnya virtual reality sebagai disertasinya.
Dalam pengakuannya, Dwi juga mengaku bahwa dirinya bukanlah perancang Satellite Launch Vehicle. Ia juga tidak pernah membuat roket bernama TARAV7s (The Apogee Ranger versi 7s).
“Yang benar adalah bahwa saya pernah menjadi anggota dari sebuah tim beranggotakan mahasiswa yang merancang salah satu subsistem embedded flight computer untuk roket Cansat V7s milik DARE (Delf Aerospace Rocker Engineering), yang merupakan bagian dari kegiatan roket mahasiswa di TU Delft),” kata Dwi melalui pernyataan tertulis, Minggu (8/10/2017).
Proyek itu tidaklah datang dari Kementerian Pertahanan Belanda, Pusat Kedirgantaraan dan Antariksa Belanda (NLR), Airbus Defence atau Dutch Space, melainkan hanya proyek roket amatir mahasiswa.
NLR dan lembaga lain berperan sebagai sponsor terkait dana riset dan bimbingan.
Baca Juga: Kasus Dwi Hartanto, Haruskah Kita "Menguliti" dan "Membunuhnya"?
Pemabahasan roket itu juga dikemukakan dalam program televisi Mata Najwa. Saat itu, Dwi mengatakan proyek roket strategisnya digunakan pada Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Dwi menuturkan perannya sebagai technical director.
“Peranan teknis saya saat itu adalah pada pengembangan flight control module dari roket tersebut. Dengan demikian bahwa saya satu-satunya orang non-Eropa yang masuk dalam ring 1 teknologi ESA (European Space Agency) adalah tidak benar,” kata Dwi.
Kebohongan Dwi lainnya adalah saat ia mengaku sebagai pemenang lomba riset teknologi antar lembaga penerbangan dan antariksa dari seluruh dunia di Cologne, Jerman. Bila benar, ia berhasil mengalahkan para peneliti dari NASA (Amerika), ESA (Eropa), dan JAXA (Jepang) dan beberapa lembaga lainnya.
Dwi menuturkan bahwa dirinya juara dalam bidang riset Spacecraft Technology. Ia membuat riset berjudul “Lethal Weapon in the Sky”. Dari riset ini ia juga membuat paten bersama timnya.