KOMPAS.com -- Dari 7.000 penyakit langka yang sudah teridentifikasi, hanya 5 persen di antaranya yang dapat diobati. Salah satunya adalah Gaucher Disease, sebuah kelainan metabolik bawaan yang mempengaruhi 1 dari 40.000 kelahiran hidup.
Penyakit ini merupakan penyakit keturunan yang dapat menyerang pria dan wanita. Ia disebabkan oleh kurangnya enzim acid-β glucosidase, akibat mutasi genetik,yang berfungsi untuk memecah lemak dalam ubuh yang dikenal dengan glucosylceramide (GL-1).
Kekurangan enzim acid-β glucosidase membuat GL-1 menumpuk pada sel yang bernama lisosom dan membuat sel tersebut melebar.
(Baca juga: Dokter Ungkap Tantangan Atasi Penyakit Langka di Indonesia)
Untungnya, dr Klara Yuliarti, SpA(K), Staf Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM berkata bahwa terapi pada pasien Gaucher menunjukkan hasil yang sangat baik dan anak akan dapat hidup normal jika perawatan telah dimulai sejak dini.
Ditemui dalam acara diskusi media yang bertema “Kelainan Metabolik Bawaan dan Perkembangan Terbaru di Indonesia” yang diadakan oleh Sanofi Indonesia dan Ikatan Dokter Anak Indonesia di Jakarta, Selasa (3/10/2017), Klara memberikan sebuah contoh kasus penyakit Gaucher yang mendapat terapi sulih enzim di Rare Diseases Center of Excellence RSCM.
Dalam contoh tersebut, ada seorang anak laki-laki berusia tiga tahun yang datang ke poliklinik nutrisi dan penyakit metabolik. Untuk usianya yang sudah mencapai tiga tahun, ukuran tubuh anak tersebut sangat kecil dan perutnya membuncit.
Orangtua dari anak tersebut sudah pernah membawanya ke puskesmas ketika perut mulai membuncit pada usia tujuh bulan, tetapi dikira sekadar kembung. Namun, belakangan mulai terasa ada benjolan, pembesaran hati, dan limpa.
“Anak tersebut dirujuk berkali-kali sampai ke RSCM bagian pencernaan dan hati. Disangka langerhan cell histiocytosis (LCH) lalu dikirim ke hematologi dan onkologi. Tidak sesuai lagi lalu dikembalikan,” kata Klara.
Hal ini, menurut Klara, cukup wajar mengingat bahwa pada umumnya, pasien gaucher membutuhkan waktu 48,7 ± 123,6 bulan dari gejala awal untuk didiagnosis. Lalu, hanya 20 persen dokter yang dapat memikirkan Gaucher pada pertemuan pertama.
Setelah dirujuk ke bagian poliklinik nutrisi dan penyakit metabolik, para dokter menduga bahwa anak tersebut mengalami Gaucher.
Pasalnya, riwayat kesehatan keluarga sang anak menunjukkan adanya dua anggota keluarga yang meninggal di usia balita dengan perut membuncit. Hasil tes laboratorium juga menunjukkan nilai hemoglobin, leukosit dan platelet yang rendah. Selain itu, hasil pemeriksaan CT Scan juga menunjukkan adanya pembesaran hati dan limpa.
Dugaan para dokter pun terkonfirmasi setelah dilakukan pungsi sumsum tulang, survei tulang, dan pemeriksaan enzim.
Ternyata, anak tersebut menderita Gaucher tipe 1 yang paling sering terjadi. Penyakit ini bisa menyerang siapa saja dan gejala awal biasanya terjadi ketika penderita masih anak-anak. Gejala umumnya sesuai dengan yang ditunjukkan anak tersebut, yaitu pembengkakan limpa dan nyeri tulang.
Meski tidak mempengaruhi kinerja otak; tipe penyakit ini dapat menimbulkan masalah lain seperti mudah lelah, pendarah, memar, dan sakit paru.
Penanganan untuk Gaucher tipe 1 adalah plenektomi parsial atau total, transfusi, analgetik untuk nyeri tulang, dan berbagai suplemen.
Selain itu, ada juga terapi sulih enzim (ERT) yang biayanya luar biasa. “ERT ini butuh 2 vial untuk dua minggu. Satu vial-nya Rp 22 juta dan harus dilakukan seumur hidup. Jadi, biayanya sekitar Rp 1 miliar per tahun,” ujar Klara.
Untungnya, RSCM berhasil mengajukan donasi untuk anak tersebut.
Dalam waktu tiga bulan, ERT menunjukkan hasil yang menggembirakan. “Sekarang perutnya mengempis, anaknya bisa jalan lebih jauh, bisa tidur lebih enak, dan semua parameter test lab yang jelek sudah membaik,” kata Klara.
Berkaca dari keberhasilan tersebut dan mengingat bahwa bulan Oktober adalah bulan kesadaran Gaucher, Klara pun berpesan mengenai pentingnya deteksi dini untuk penyakit langka ini. “Terapi dini menghasilkan outcome yang sangat baik dan hidup pasien bisa normal,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.