Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Profauna Ajak Masyarakat Berhenti Beli Burung Nuri dan Kakatua

Kompas.com - 17/09/2017, 19:42 WIB
Yamin Abdul Hasan

Penulis

TERNATE,KOMPAS.com - Profauna Indonesia menggelar kampanye publik mengajak masyarakat untuk tidak membeli burung nuri dan kakatua.

Seruan itu disampaikan dalam kampanye publik memperingati Hari Kakatua Indonesia di Jalan Pahlawan Revolusi Ternate, Maluku Utara, Sabtu (16/9/2017).

Dalam kampanye publik itu sejumlah aktivis Profauna mengenakan kostum burung kakatua sambil membentangkan spanduk berisi ajakan agar masyarakat tidak lagi membeli serta memelihara burung nuri dan kakatua.

Ajakan untuk tidak membeli burung nuri dan kakatua itu dilakukan mengingat sebagian besar, atau lebih dari 95 persen burung nuri dan kakatua yang diperdagangkan adalah hasil tangkapan dari alam.

Burung-burung itu ditangkap dari habitat aslinya di Maluku Utara, Maluku, Sulawesi dan Papua.

“Dengan tidak membeli burung nuri dan kakatua yang diperdagangkan itu kita turut memotong rantai perdagangannya. Momen Hari Kakatua Indonesia ini menjadi momen yang tepat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pelestarian burung nuri dan kakatua,” kata Bayu Sandi, juru kampanye Profauna Indonesia.

Bayu menekankan, burung kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) yang notabene sudah dilindungi undang-undang saja masih tinggi tingkat perdagangannya. Tentunya, nasib yang lebih mengenaskan dialami oleh spesies lain yang belum dilindungi, seperti kakatua putih (Cacatua alba) dan kasturi ternate (Lorius garrulus) yang berstatus endemik Maluku Utara.

“Profauna sudah sejak tahun 2005 mendorong pemerintah agar menetapkan kakatua putih sebagai satwa dilindungi, tetapi sampai detik ini belum terwujud padahal populasinya di alam sudah menurun drastis dan tingkat perburuannya masih tinggi,” tandas Bayu.

Hasil investigasi dan monitoring Profauna dalam dua tahun terakhir menunjukkan bahwa tingkat penangkapan dan perdagangan burung paruh bengkok, khususnya yang berasal dari Maluku Utara juga masih sangat tinggi.

Investigasi terbaru Profauna selama bulan November 2016 sampai Januari 2017 menunjukkan bahwa para penangkap burung nuri dan kakatua di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara juga masih tinggi.

Pada kurun bulan itu ada sekitar 3.000 ekor burung kakatua putih, kasturi ternate dan nuri bayan yang ditangkap dari alam.

Masih tingginya penangkapan burung di Kabupaten Halmahera Selatan itu karena dipicu oleh adanya permintaan dari pengepul burung.

Para pengepul itu kebanyakan menerima pesanan dari pembeli, sebagian besar dari Jawa dan Filipina. Harga burung kakatua putih dan kasturi ternate akan melonjak tinggi ketika sudah sampai di Jawa.

Sebagai gambaran, harga seekor kakatua putih bisa mencapai Rp 3,5 juta jika dijual di Jawa, sedangkan kasturi ternate Rp 2 juta.

Burung nuri dan kakatua merupakan salah satu kekayaan alam khas Indonesia yang sulit dijumpai di bagian dunia lain. Di Indonesia terdapat sekitar 89 spesies burung paruh bengkok, dengan 14 spesies di antaranya sudah dilindungi secara hukum.

Menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.siapapun dilarang keras untuk menangkap, menjual, membeli, maupun memelihara jenis satwa dilindungi.

“Profauna juga mendesak agar pemerintah segera memasukkan kakatua putih dan kasturi ternate dalam daftar satwa dilindungi, untuk memastikan secara hukum burung endemik Maluku utara ini tidak lagi diperdagangkan,” pungkas Bayu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com