Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelajaran dari Kasus Ananda yang Lumpuh akibat Gigitan Ular Berbisa

Kompas.com - 10/09/2017, 20:01 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

KOMPAS.com – Gigitan ular berbisa tak bisa disepelekan dan butuh penanganan gawat darurat yang tepat. Kasus Ananda Yue Riastanto bisa memberikan pelajaran.

Pada 5 Januari 2017 lalu, Ananda digigit ular weling (Bungarus candidus). Kini, dia mengalami enselofati yang berakibat pada kelumpuhan dan tidak mampu bicara.  

Pakar toksikologi dan bisa ular DR Dr Tri Maharani Sp EM mengatakan, Anda sebenarnya masih beruntung sebab masih bisa bertahan hidup.

“Kemarin waktu saya tanya ke orang tuanya itu, dia gigit waktu rumah itu baru dibangun. Sudah biasa ular weling itu di tanah. Ananda itu tidurnya beralaskan tikar. Nah terus digigit,” kata Tri saat dihubungi Kompas.com, Minggu (10/9/2017).

Setelah gigitan terjadi, orang tua Ananda mengikat bekas gigitan ular. Tujuannya agar bisa ular tidak menjelar ke seluruh tubuh.

Baca Juga: Digigit Ular, Sudah Setahun Bocah Peraih Ranking Satu Ini Lumpuh

Tri mengungkapkan, tindakan mengikat bagian tubuh yang tergigit ular itu salah kaprah yang menjadi penyebab utama enselofati.

Menurut Tri, bagian tubuh yang digigit ular seharusnya tak perlu diikat, tetapi tak dibiarkan bergerak agar racun ular tak menyebar ke bagian tubuh yang lain.

Ikatan pada bagian tubuh tertentu yang digigit, bila tak disertai dengan imobilisasi, masih memungkinan bisa menyebar ke bagian lain.

Bila bisa menyebar, dampaknya bisa melumpuhkan otot-otot pernafasan. Bila terlalu lama, kondisi itu bisa berakhir pada kematian.

Dalam kasus Ananda, dia langsung dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Wates dengan menghabikan waktu sekitar 40 menit.

Kemudian, Ananda dirujuk kembali ke Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito yang memakan waktu sekitar satu jam. Di RSUP Sardjito, Ananda langsung ditempakan di ruang ventilator.

Tindakan RSUP Dr Sardjito menaruh Ananda di ventilator sudah benar dan menjadi faktor utama yang membuat dia akhirnya selamat.

“Kalau lebih lama lagi fatal. Karena di Sardjito langsung masuk ventilator jadi lumayan tertolong tapi sel otak yang mengalami kematian sudah banyak,” ujar Tri.

Kematian sejumlah sel otak itulah yang memicu ketidakmampuan Ananda bicara serta kelumpuhan yang kini dialaminya.

Baca Juga: Kasus Piton di Sulawesi, Bagaimana Ceritanya Bisa Memangsa Seorang Petani?

Menurut Tri, Ananda masih bisa mempertahankan sel otak yang masih hidup. Caranya dengan meminum obat dari dokter spesialis anak yang menanganinya dan dilakukan fisioterapi.

Obat itu harus dikonsumsi secara kontinyu untuk menghindari kejang yang berakibat pada kekurangan oksigen.

Ananda tak bisa dikembalikan seperti semula akibat kematian sel otak. Namun dengan fisioterapi, kualitas hidupnya masih bisa ditingkatkan.

“Dengan proses fisioterapi yang bagus dia masih bisa melakukan aktivitas meski tidak kayak anak normal. Bisa menggerakkan tangan dan kaki. Anak itu masih bertumbuh,” kata Tri.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau