Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Warga Desa Merabu Mandiri dengan Hutan Desanya

Kompas.com - 07/09/2017, 21:53 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Orang desa bisa hidup sejahtera, menjaga alam, mendapatkan manfaat darinya, tanpa harus ke kota.

Itulah komitmen warga Desa Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan TImur. Kini mereka memanfaatkan hutan dan potensi wisata di desanya untuk hidup.

Mereka mengelola Hutan Desa seluas 8.245 hektare yang diresmikan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 28/MEenhut-II/2014 pada 9 Januari 2014 silam.

Tahun 2012, ada sosialisasi perhutanan sosial dari Dinas Kehutanan Kaltim. Warga setempat lantas meminta 10.000 hektar hutan lindung untuk dijadikan hutan desa.

“Kami tertarik ambil peluang ini. Kami pilih hutan desa karena itu paling tepat. Kami buat juga lembaganya, Kerima Puri artinya kita menuju hutan yang indah,” kata Frankly Aprilano, Kepala Kampung Merabu

Sebelum mengelola hutan, masyarat hidup dengan menjual sarang burung walet. Hingga tahun 1990an, masyarakat dapat hidup sejatera dari walet.

Meski bekerja selama satu pekan dalam sebulan, Frankly mengatakan, rata-rata masyarakat mendapatkan penghasilan Rp 15 juta dari 80 goa sarang burung walet.

Kesejahteraan itu mulai berubah drastis sejak pembukaan lahan besar-besaran untuk penanaman kelapa sawit pada tahun 2000an.

Kehilangan tempat mencari makan, walet tak lagi bersarang. Terhitung saat ini, hanya lima sarang burung walet yang tersisa, itu pun dikelola perusahaan.

“Pemda yang melelang itu kepada perusahaan. Masyarakat jadi pekerja. Kalau dulu, selain jadi pekerja mereka bisa cari sediri,” kata Frankly.

Franky yang aslinya orang manado awalnya bingung mengelola hutan yang diberikan. Hingga akhirnya dia berbicara dengan staf lembaga The Nature Conservancy.

“Kami buat rencana pembangunan jangka menengah," katanya. "Kami coba gali visi misi dari masyarakat, dan muncul visi Merabu jadi kampung ASIK dari aman, sehat, indah, dan kreatif.”

Bersama masyarakat, Frankly membuat peta tiga wilayah Merabu. Setelah selesai, seluruh warga duduk bersama memetakan daerah yang dapat dijadikan lokasi wisata, tempat bertani dan berternak.

Lokasi yang dijadikan tempat wisata diantaranya Gunung Karst Ketepu, Danau Nyandeng yang tak pernah keruh sepanjang tahun, dan Goa Bloyot dengan jejak kehidupan purbakala.

“Pernah ada peneliti dari Prancis dan orang Indonesia juga yang meneliti di Goa Bloyot. Cap tangan itu umurnya 4.000 tahun," ungkap Franky saat ditemui Kompas.com pada kamis (7/9/2017).

"Kalau Danay Nyandeng belum tahu kedalamannya. Diukur pakai meteran 50 meter, masih tenggelam," imbuhnya.

Tantangan warga sekarang adalah belum dikenalnya Merabu. Wisatawan mancanegara memang sudah datang. Dalam setahun, ada beberapa ratus. Namun, jumlah itu masih perlu ditingkatkan.

Untuk mencapai Merabu bukan perkara mudah. Jalan darat hanya mampu mencapai desa sebelah. Selebihnya perjalanan ditempuh dengan meyeberangi sungai.

Jangan harapkan hotel di Merabu. Wisatawan akan menginap di rumah warga. Sayang belum ada pemandu wisata yang paham bahasa asing. Selama ini, Frankly yang menemani.

“Saya ajak pemuda di sana untuk belajar bahasa asing. Kami ada Wifi, mereka bisa belajar dari internet. SDM agak susah karena anak muda yang ada sampai Sekolah Dasar. Sisanya lagi sekolah. Program yang kami dapat dari funding untuk tingkatkan ekonomi masyarak semua. Kami arahkan ke badan usaha milik desa,” kata Frankly.

Warga Merabu perlu dukungan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau