Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/07/2017, 16:17 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Di samping kesehatan, alasan lain yang sering kali mendasari keputusan orangtua untuk melarang anak-anaknya memakan makanan bergula adalah agar tidak sugar high. Istilah tersebut merujuk pada kondisi hiperaktif yang terjadi akibat konsumsi gula berlebih.

Namun, benarkah gula bisa membuat anak jadi hiperaktif?

Kepercayaan bahwa makanan bisa mempengaruhi perilaku berawal pada 1973 ketika pakar alergi Benjamin Feingold, MD, memublikasikan Feingold Diet. Walaupun tidak secara spesifik menyebut gula, pola makan yang dianjurkan oleh Feingold ini meyakinkan beberapa orangtua bahwa bahan-bahan tambahan seperti pemanis buatan sebaiknya dihindari.

(Baca juga: Gula Rendah Kalori Tak Bantu Turunkan Berat Badan)

Namun, penelitian selama beberapa dekade terakhir belum menemukan bukti yang pasti mengenai pengaruh gula terhadap perilaku anak. Sebuah studi pada tahun 1994 di Journal of Abnormal Child Psychology, misalnya.

Dalam studi tersebut, para peneliti merekrut 35 anak berusia lima sampai tujuh tahun. Mereka lalu memberitahu setengah dari ibu partisipan bahwa anak-anak mereka telah mengonsumsi gula walaupun semua partisipan hanya memakan placebo. Hasilnya, setengah dari ibu-ibu yang percaya bahwa anaknya telah mengonsumsi gula melaporkan perilaku yang lebih hiperaktif.

Para peneliti menulis, ibu-ibu yang percaya bahwa anaknya telah mengonsumsi gula juga lebih sering menganggap anak-anak mereka nakal dan menjadi lebih sering mengkritik.

Hal serupa juga ditemukan oleh peneliti kesehatan anak-anak Mark Wolraich ketika melakukan studi terhadap 48 anak yang pola makannya dikelompokkan menjadi tinggi gula dan tinggi pemanis buatan. Dia menkonklusikan bahwa beradasarkan laporan orangtua, guru, dan para peneliti sendiri; hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua kelompok tersebut.

Wolraich yang juga melakukan meta-analysis  terhadap 23 studi pada tahun 1995 juga menemukan konklusi yang sama. “Gula tidak mempengaruhi perilaku maupun performa kognitif pada anak-anak,” tulisnya. Menurut dia, kepercayaan yang kuat pada orangtua lebih karena ekspektasi dan asosiasi publik.

Dikutip dari Live Science 15 Agustus 2016, Wolraich mengatakan, miskonsepsi ini berawal dari fakta bahwa gula biasanya dikonsumsi dalam jumlah banyak pada momen-momen spesial, seperti halloween atau ulang tahun. Dalam situasi tersebut, anak-anak sudah semangat duluan sebelum memakan gula.

Namun, pendapat dr Reni Wigati, SpA, seorang dokter spesialis anak di RS Dharmais yang ditemui di acara Forum Ngobras di Jakarta beberapa waktu lalu sedikit berbeda.

Kepada Kompas.com, Reni berkata bahwa sugar high bukan mitos, tetapi pengertiannya yang kurang tepat. “Ketika kita mengonsumsi sesuatu yang mengandung gula, misalnya karbohidrat, maka pecahan akhirnya akan mengandung gula. Nah, gula ini bisa dipakai oleh tubuh sebagai energi,” ujarnya.

Oleh karena itu, ketika anak mengonsumsi makanan yang mengandung gula, dia menjadi punya energi yang lebih. “Makanya, kita selalu membatasi. Kalau anaknya sudah bergizi baik, ya sudah jangan makan yang kalorinya tinggi-tinggi. Jadi, anaknya tidak punya terlalu banyak energi malam itu,” katanya.

Namun, dr Reni juga menemakankan bahwa aktivitas baru akan terjadi ketika ada kesempatan dan energi. Jika anak hanya punya energi tanpa kesempatan, maka dia akan tetap bisa tidur.

Dia mengatakan, tapi kalau orangtuanya pulang kerja, anak kan jadi bangun lagi. ‘Asik, bapak dan ibu pulang’. Tambah lagi kalau orangtua bawa PR ke rumah dan buka laptop, cahayanya itu merangsang indra pengelihatan, menstimulasi otak, dan mengaktifkan neuron.

Sugar high itu tidak semata-mata makanannya, tetapi juga didukung oleh lingkungannya. Jadi, kalau orangtua harus pulang malam, tolong jangan melakukan aktivitas yang tinggi-tinggi. Tidur dulu, nanti kalau bangun lagi ya terserah. Tapi jangan bawa anaknya bangun sampa

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com